Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Surat Terbuka Forum Kampung Kota: Presiden dan Ibu Mega, Tolak Ahok Sebagai Calon Gubernur DKI
Melalui surat ini kami bermaksud menyampaikan 3 (tiga) perkara kepada Presiden Jokowi dan Ibu Megawati selaku Ketua Umum PDIP.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- “Marilah Saudara-saudara, hai saudara-saudara dari Djakarta, kita bangun kota Djakarta ini dengan cara semegah-megahnya. Megah bukan saja materiil, megah bukan saja karena gedung-gedungnya pencakar langit, megah bukan saja ia punya boulevard-boulevard, lorong-lorongnya yang indah, megah bukan saja ia punya monumen-monumen indah, megah di dalam segala arti, sampai di dalam rumah-rumah kecil daripada Marhaen di kota Djakarta harus ada rasa kemegahan”
(Sukarno, pidato ulang tahun Jakarta ke-435 tahun 1962).
Salam sejahtera,
Kami adalah para akademisi dan praktisi dari berbagai bidang ilmu yang tergabung dalam "Forum Kampung Kota" -- sebuah gerakan gotong royong lintas disiplin dan lintas generasi, dengan tujuan berkontribusi bagi pembangunan kampung dan kota di Indonesia sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan berkelanjutan.
Melalui surat ini kami bermaksud menyampaikan 3 (tiga) perkara kepada Presiden RI Joko Widodo dan Ibu Megawati selaku Ketua Umum PDI Perjuangan.
Perlu disampaikan terlebih dulu, bahwa yang menjadi fokus materi kami adalah pada produk kebijakan dan dampak yang dihasilkan, bukan pada individu atau perseorangan.
Pertama, kami sebagai bagian dari masyarakat sipil yang tak lepas dari kerja-kerja bersama warga penghuni kampung-kampung di Jakarta (dan di berbagai wilayah di Indonesia) mengingatkan bahwa Joko Widodo (Jokowi) adalah yang kami pilih dan yang dipilih oleh sebagian besar rakyat Jakarta sebagai Gubernur DKI dalam Pilkada 2012.
Saat Jokowi menjadi Presiden RI tahun 2014, kami dan warga miskin di Jakarta rela, ikhlas, dan mendukung pergeseran posisi ini. Kami berharap gubernur pengganti akan meneruskan semangat pendahulunya selalu melibatkan warga dalam mengambil keputusan strategis. Namun, harapan kami terus mengabur. Kebijakan-kebijakan Pemprov DKI terus menjauh dari nilai-nilai keadilan bagi warga miskin ibukota.
Kedua, terkait dengan yang pertama, kami menyampaikan keprihatinan, kekecewaan atas orientasi dan kinerja kebijakan Pemprov DKI yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam mengelola Jakarta. Lima kelompok data berikut sekadar beberapa contoh:
(1) Tentang peningkatan angka kemiskinan di ibukota. Data BPS menyebutkan Indeks Gini di Jakarta (indeks berisi ketimpangan distribusi hasil pembangunan) melompat dari 0,43 pada 2014 menjadi 0,46 pada 2015. Ini menunjukkan ketimpangan sosial ekonomi di Jakarta semakin serius.
Data BPS juga menunjukkan bahwa dari September 2015 ke Maret 2016 jumlah orang miskin bertambah sebesar 5.630 orang. Data ini menunjukkan rendahnya kinerja Pemprov DKI yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam meningkatkan kesejahteraan warga miskin.
(2) Tentang peningkatan penggusuran warga miskin. Kemiskinan yang terus bertambah berbanding lurus dengan frekuensi penggusuran terhadap warga miskin. Data LBH Jakarta menunjukkan bahwa selama tahun 2015 terjadi 113 kasus penggusuran paksa oleh Pemprov DKI.
Total jumlah korban sebanyak 8.145 KK dan 6.283 unit usaha. Sebanyak 67% di antaranya dibiarkan tanpa solusi. Penggusuran membuat kualitas hidup rakyat memburuk. Mereka tak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga kehidupan secara keseluruhan. Pemprov DKI melalui Gubernur Basuki Tjahaha Purnama menyatakan bahwa di tahun 2016 penggusuran warga di 325 kampung dan jelang Pilkada akan terus dilakukan.
(3) Tentang penggunaan instrumen kekerasan terhadap penggusuran. Penggusuran paksa terhadap warga miskin dilakukan menggunakan instrumen kekerasan dan melibatkan tentara. Dari 113 kasus penggusuran, 65 kali TNI terlibat dalam penggusuran tersebut. Ini bertentangan dengan UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
UU tsb menyebutkan bahwa TNI hanya memiliki kewenangan dalam isu pertahanan, bukan keamanan (yang menjadi tugas kepolisian) dan ketertiban umum (yang menjadi tugas Satuan Polisi Pamong Praja).