Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mukidi dan Gatot Brajamusti, Sebuah Lelucon Kekinian
Bukan sekadar hadir pula. Mukidi melesat jadi populer. Jauh lebih populer dibanding kemunculan awalnya di sepertiga bagian pertama sampai akhir era 19
ENTAH apa yang memicu, dagelan tokoh antah barantah yang muncul pertama kali lewat celetukan-celetukan para personel Warkop Prambors (terutama Dono), yang kemudian dikemas dan dipublikasikan lebih rutin melalui cerita lucu yang dikirim ke Ida Krisna Show oleh seorang lelaki bernama Soetandyo Moechlas, mendadak hadir kembali.
Bukan sekadar hadir pula. Mukidi melesat jadi populer. Jauh lebih populer dibanding kemunculan awalnya di sepertiga bagian pertama sampai akhir era 1980an.
Pada masa itu, selain dibacakan Krisna Purwana dan Ida Ari Murti di Prambors, tokohMukidi yang serba ajaib ini cuma bisa didapati oleh mereka yang hadir di acara-acara presentasi Yoyo, sapaan Soetandyo Moechlas. Yoyo bekerja sebagai product manajer satu perusahaan farmasi.
Sekarang, dagelan atawa lelucon Mukidi yang sesungguhnya (kebanyakan) lawas ini --dan seringkali (dalam versi aslinya) tidak ada sangkutpaut dengan Mukidi--bisa dengan mudah dinikmati oleh siapa saja lantaran nyaris tiap menit berseliweran di media sosial. Di Facebook, di Twitter, di Path, bahkan dalam bentuk gambar-gambar di Instagram.
Pertanyaannya, kenapa lelucon Mukidi bisa sampai melesat begitu rupa, menciptakan dunia baru, Dunia Mukidi, yang membuatnya jadi memiliki kekuatan dahsyat hingga sanggup mengatasi fenomena global semacam Pokemon Go?
Pertanyaan seperti ini sulit dijawab. Dunia Mukidi tidaklah canggih-canggih amat. Lelucon-leluconnya, selain lawas, beberapa di antaranya malah sangat sederhana. Baik dalam struktur maupun topik.
Jangan membandingkan lelucon-lelucon Mukidi dengan lelucon jenius garapan Asrul Sani atau Misbach Yusa Biran atau Nya Abbas Akub atau trio Warkop sekalipun. Jangan pula sejajarkan dengan komedi hitam yang berat semacam besutan Wes Anderson dan Roberto Benigni. Di hadapan mereka, Mukidi jadi kelewat lugu.
Akan tetapi, barangkali, keluguan inilah yang justru menguatkan daya gempurnya. Sebagaimana Srimulat yang dengan caranya sendiri tetap saja mampu bertahan dari gilasan roda zaman. Atau jangan-jangan lantaran faktor kedekatan? Bahwa Mukidi adalah kita, representasi, cerminan diri kita. Mukidi adalah kita pada hari-hari ini.
Namun dari berbagai dugaan yang mencuat, saya kira, jawaban Krisna Purwana yang boleh dibilang paling bisa diterima. Paling logis. Mukidi kembali dan melejit cepat ke puncak popularitas karena kita butuh hiburan.
Iya, semata-mata hiburan. Di tengah silang-sengkarut kehidupan yang membuat banyak orang kian menyadari betapa mereka dilahirkan ke atas bumi terkasih untuk menghabiskan jatah waktunya sekadar sebagai sontoloyo, hiburan memang menjadi perkara yang penting. Tidak menyelesaikan masalah, memang. Tapi setidaknya dapat sedikit mengurangi berat beban di pundak dan kepala.
Meski demikian, tentu saja, tak semua orang memilih melarikan diri kepada lelucon-lelucon untuk menghibur diri. Tak semua orang dapat menyikapi kesontoloyoan diri dengan asyik dan santai. Banyak yang memilih cara lain. Cara yang meski bertujuan sama namun dalam praktiknya lebih njelimet dan berbahaya pula.
Gatot Brajamusti memilih untuk tak memilih Mukidi. Saya sebenarnya sudah lupa siapa Gatot Brajamusti ini. Pun setelah mendengar kabar dia terpilih sebagai Ketua Umum Parfi, paguyuban artis-artis, saya tetap tak berminat untuk menyegarkan ingatan.
Tapi apa boleh buat. Gatot Brajamusti ditangkap polisi dan mau tak mau upaya untuk menyegarkan ingatan ini terpaksa dilakukan. Gatot ditangkap bersama istrinya, juga lima orang lain yang seorang di antaranya ternyata Reza Artamevia, penyanyi yang pada satu masa sempat memukau saya lantaran suara dan gesturnya saat menyanyi yang dalam pandangan saya ketika itu sangatlah aduhainya. Pada Gatot dan istri ditemukan narkoba jenis sabu-sabu. Pada Reza tidak, namun urine dan darahnya positif mengandung zat terlarang itu.
Saya mau tak mau harus mengingat Gatot Brajamusti karena penangkapan ini seketika menghancurkan citranya sebagai "orang alim". Reza menjadikan dia sebagai penasihat spiritual. Pada Gatot, konon, sebagaimana dikemukakannya tiap kali diwawancarai infotainment, Reza belajar agama. Tidak cuma dia, sejumlah artis lain juga ikut berguru kepada Gatot.
Maka alangkah mengejutkannya kabar penangkapan ini, yang kemudian berlipat beberapa kali lagi setelah polisi merilis hasil penggeledahan.
Inilah barang-barang yang ditemukan: 35 botol insulin, satu gulung alumunium foil, 115 jarum suntik, dua jarum bekas pakai, satu plastik kecil bekas sabu-sabu, satu bungkus vitamin pharmaton, 30 korek gas, dua butir pil KB, empat bong, dua butir kapsul biru, lima pipet kaca, satu plastik pembersih pipet, dua timbangan, empat jarum pengambil darah, tiga botol perisa rokok eletrik, dua botol inpus, serta sex toys berbentuk vibrator warna merah muda.
Duh, Aa Gatot, kenapa sampeyan tidak memilih melarikan diri keMukidi saja.
twitter: @aguskhaidir