Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Membincangkan Islam di Indonesia dengan Orientalis Asal Jerman
Bagaimana orientalis Jerman melihat Islam Indonesia? Kenapa partai politik Islam kalah di antara partai konvensional? Berikut isi dialognya.
Editor: Y Gustaman
Oleh: KH Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
Semangat abad pencerahan menjadi ruh berdirinya Georg-August-Universität Göttingen di Jerman pada 1734. Orang lebih akrab menyebutnya Universitas Georgia Augusta merujuk nama George II, Raja Britania Raya dan George Augustus, seorang elektro Hannover.
Sekian hari berkeliling melaksanakan safari dakwah ke sejumlah kota di Eropa, pada Jumat pagi 23 September 2016, saya ditemani mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan doktoral mengunjungi Prof Fritz Schulze, orientalis yang ahli pemikiran Islam Indonesia di Universitas Georgia Augusta.
Selayang pandang perkuliahan di kampus ini dimulai pada 1734. Dua tahun kemudian tepatnya pada 1737 universitas ini diresmikan. Mengemban semangat pencerahan, penelitian ilmiah di universitas ini dibebaskan dari sensor gereja yang di abad pertengahan sangat mengekang.
KH Cholil Nafis berdialog dengan Prof. Dr. Fritz Schulz tentang wajah Islam Indonesia di Georg-August-Universität Göttingen, Jerman, Jumat (23/9/2016). DOKUMENTASI KH CHOLIL NAFIS
Berbilang tahun dan abad universitas ini berkembang cepat menjadi universitas utama di Jerman. Pada 1823 jumlah mahasiswanya mencapai 1547 orang. Terhitung sejak berdiri sudah memiliki empat fakultas dan pernah menjadi universitas terbaik di Eropa dengan 800 murid.
Pada 2010 menjadi universitas terbaik dan pada 2011 sebagai kedua terbaik di Jerman berdasarkan pemeringkatan yang dilakukan oleh Times Higher Education.
Baca: Menelusuri Jejak Kejayaan Islam di Masjid Granada
Pertemuan saya dengan Prof Fritz menyoal banyak hal, terutama pergerakan dan pemikiran Islam di Indonesia yang menjadi fokus perhatiannya selama meneliti dan berkunjung ke Indonesia.
Dialog singkat dimulai dengan saling menyapa dan memperkenalkan diri masing-masing. Lalu masuk dalam diskusi serius tentang Islam di Indonesia. Berikut perbincangan pendek saya dengan Prof. Fritz.
Prof. Fritz: Islam di Indonesia banyak warnanya dan berbeda dengan cara Islam di Arab, karena Muslim di Indonesia banyak dipengaruhi aneka ragam kebudayaan dan ada istiadat meski ada juga yang kaku dan keras.
KH Cholil Nafis: Ya, Islam di Indonesia ada yang menerapkannya berangkat dari aspek kearifan lokal, ada pula yang ingin memformalkan menjadi negara Islam. Inilah harmoni yang indah jika dikelola dengan baik. Tapi akan jadi ancaman dan konflik bila masing-masing mengeras dan tak mau toleran dengan yang lain.
Baca: Dakwah Islam Melalui Seni dan Budaya Lebih Diterima Warga Belanda
Prof. Fritz: Indonesia itu uniknya meski mayoritas Islam tapi kenapa kok tidak mendirikan negara Islam, bahkan partai Islam pun kalah.
KH Cholil Nafis: Masyarakat Indonesia banyak yang sadar bahwa kedudukan agama Islam lebih tinggi dari partai politik dan negara Islam. Jika politik itu ukurannya menang dan kalah maka Islam bicara benar dan salah. Jadi bisa saja orang Muslim itu kalah secara politik tapi ada kebanggaan karena berada dalam garis yang benar menurut Islam.
Makanya Islam tak perlu menjadi partai dan negara yang penuh pertarungan dan tipu daya. Islam cukup sebagai penerang dan cahaya untuk mengarahkan politik yang bermartabat dan berkeadaban.
Prof. Fritz: Islam Nusantara dari Nahdlatul Ulama dan Islam berkemajuan dari Muhammadiyah apakah mampu menangkal paham radikal di Indonesia?
KH Cholil Nafis: Dua tema itu komitmen dua organisasi Islam besar di Indonesia untuk menegaskan cara ber-Islam yang sesuai ajaran dan kontekstual. Nah, Majelis Ulama Indonesia merangkul kedua tema itu dengan Islam Wasahathiyah. Terma ini ada dalam Alquran dan Hadis yang uga sesuai kebutuhan masyarat dunia khususnya Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Islam Wasathiyah dapat disebut juga Islam moderat. Semua orang dapat menyaksikan kebaikan dan kebenarannya karena dakwah yang disampaikan disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu. Ia tak menjelma dalam teks yang kaku an sich, tetapi melebuh dalam konteks masalah yang dihadapi masyarakat. Ini menjawab tantangan zaman sekaligus memberi solusinya.
Prof. Fritz: Pemikiran Islam di indonesia sekarang lebih merata dan dapat didialogkan dengan baik. Sebab para tokoh masyarakat dalam strata yang sama, tidak ada tokoh yang sangat menonjol menguasai massa yang sangat besar.
Baca: Mengapa Perlu Menyebarkan Islam Moderat di Eropa
Di samping itu masyarakat Muslim Indonesia lebih rasional memahami dan meletakkan Islam dalam kerangka interaksi sosial dan konteks hubungan masyarakat dan negara.
KH Cholil Nafis: Masyarakat muslim di Indonesia lebih realistis, budaya orang Indonesia yang lebih banyak tenggang rasa dan pengaruh Islam yang diajarkan oleh pesantren sangat kuat di seluruh lapisan masyarakat.
Tak terasa dialog dengan Prof. Fritz berakhir dan berlangsung santai dan penuh keakraban. Seperti biasa, ketika mereka menanggapi tentang Islam pasti memujinya terhadap ajaran Islam. Jika ditanya mengapa tidak memeluk agama Islam? Jawabnya belum mendapat hidayah.
Orang pandai Islam dan meyakini kebenaran ajarannya belum tentu memeluk Islam. Demikian juga orang yang belajar Islam dan mendalam ilmu syariahnya belum tentu taat kepada Allah.
Sebab taufik (kebenaran berpikir) dan hidayah (petunjuk Allah utk membuka hati) semata-mata adalah kewenangan kekuasaan Allah SWT semata.