Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Praktisi Hukum: Majelis Hakim Pertimbangkan Eksepsi Ahok
Lebih lanjut dia mengatakan penetapan Ahok sebagai Tersangka bukan berdasarkan alat-alat bukti tetapi berdasarkan voting.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Praktisi hukum Andi Syafrani menilai kasus hukum yang menjerat Gubernur Petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama bukanlah masalah hukum, tetapi masalah politik yang sarat muatan kepentingan-kepentingan di luar tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Hal ini berkaitan dengan posisi Ahok sebagai salah satu calon gubernur dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada bulan Februari 2017 sehingga perkara ini tidak layak disidangkan.
“Majelis hakim mestinya mempertimbangkan untuk mengabulkan dan menerima eksepsi terdakwa. Alasan-alasan hukum yang disampaikan terdakwa melalui kuasa hukumnya cukup beralasan dan patut dipertimbangkan,” ujar Andi di Jakarta, Senin (19/12).
Andi menilai, proses peradilan terhadap Ahok adalahperadilan berdasarkan tekanan massa. Padahal,tujuan peradilan sebagaimana tertuang dalam Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran.
Oleh karena itu, keberadaan penegak hukum harus bisa memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia untuk mendapatkan perlindungan hukum, keadilan dan kebenaran.
Dia menerangkan, jika benar Ahok melakukan tindakan sebagaimana didakwakan Penuntut Umum, maka seharusnya masyarakat Kepulauan Seribu yang melaporkan ke polisi pada tanggal 27 September 2016 itu juga.
Namun kenyataannya, laporan baru dibuat 9 hari kemudian, mulai tanggal 6 Oktober 2016, setelah 14 saksi pelapor mengunggah video dari youtube yang sangat diragukan keasliannya.
Anehnya, dari 14 saksi pelapor ini pun, hanya 3 saksi pelapor yang benar-benar berdomisili di Kepulauan Seribu, sedangkan saksi pelapor lainnya berdomisili di Jakarta, Bekasi, Bogor.
Bahkan ada yang dari Medan, Padang, Makassar dan Palu, yang melaporkan melalui Polda mereka masing-masing.
“Tekanan masif, terstruktur dan sistematis oleh massa terhadap aparat penegak hukum justru terjadi pada tanggal 4 November 2016 dalam sebuah demo besar-besaran di Jakarta, dimana massa pendemo menuntut aparat penegak hukum menetapkan Ahok sebagai Tersangka. Berdasarkan tekanan massa itu maka tanggal 16 November 2016 Polri menetapkan Ahok sebagai Tersangka,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan penetapan Ahok sebagai Tersangka bukan berdasarkan alat-alat bukti tetapi berdasarkan voting.
Terbukti, penetapan Ahok sebagai Tersangka sebelum penyidikan. Ini artinya, alat bukti untuk menetapkan Tersangka belum ditemukan. Sehingga penetapan Ahok sebagai Tersangka hanya berdasarkan voting di antara para penyidik.
Hal ini diakui sendiri oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bahwa dalam menetapkan Ahok tidak ada kata sepakat atau tidak ada suara bulat diantara para penyidik.
Di sini Kapolri hendak mengatakan bahwa penetapan Tersangka dilakukan melalui proses voting dan bukan berdasarkan alat bukti.
“Dengan kata lain, ada kepentingan lain yang bersembunyi di balik penetapan Ahok sebagai Tersangka,” tuturnya.
Padahal Pasal 80 KUHAP menegaskan penegakan hukum termasuk penetapan tersangka hanya boleh demi mencari kebenaran. Pasal 80 KUHAP itu terinspirasi oleh Filsuf Juvernalis yang mengatakan: “Kebenaran seharusnya dinyatakan secara bebas yaitu bebas dari berbagai kepentingan dan hanya demi kebenaran, orang boleh mempertaruhkan hidupnya”.
Dia menegaskan, voting seperti dilakukan oleh Polri, selain bertentangan KUHAP, juga bertentangan dengan praktek hukum yang menegaskan kebenaran tidak boleh dilakukan dengan cara voting.
PENGIRIM: Andi Syafrani/ Praktisi hukum
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.