Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
ISIS Incar Indonesia
khususnya Densus 88 yang berhasil mengungkap dan menemukan bom aktif, menangkap terguda teroris.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Kami tentu memberikan penghargaan yang setinggi-tinginya bagi seluruh jajaran Polri, khususnya Densus 88 yang berhasil mengungkap dan menemukan bom aktif, menangkap terguda teroris.
Kita tidak boleh berpuas diri. Saat ini ketahanan nasional kita akan menghadapi ujian maha berat jika rencana ISIS membangun basis di Asia Tenggara tidak segera ditangkal.
Beberapa indikasi sudah terlihat di permukaan. Untuk memperkecil atau melumpuhkan potensi ancaman itu, perlakuan hukum terhadap para terduga dan tersangka teroris harus ekstra tegas.
Hari-hari ini publik dikejutkan oleh temuan adanya bom aktif dan pemberitaan tentang keberhasilan Detesemen Khusus (Densus) mengungkap ditemukannya lagi adanya bom aktif dan menangkap terduga teroris baru.
Mungkin, kasus ini bisa dilihat sebagai indikasi pertama. Kasus ini menjadi bukti bahwa sel-sel terorisme di dalam negeri masih sangat aktif, dan terus mencari ruang untuk merusak ketahanan nasional.
Luar biasa karena mereka sudah berani mengincar Istana Negara sebagai target serangan. Indikasi kedua adalah pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Berbicara di forum seminar Preventive Justice dalam Antisipasi Perkembangan Ancaman Terorisme pada Selasa (6/12) lalu, Jenderal Gatot Nurmantyo mengingatkan bahaya terorisme yang jaraknya semakin dekat ke Indonesia.
Karena kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) telah memilih dan membangun kawasan Filipina Selatan sebagai home base di Asia Tenggara.
Sedangkan Presiden Duterte mengemukakan bahwa ISIS akan mendirikan kekhalifahan baru di empat negara Asia Tenggara, yakni Filipina, Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Dalam sebuah pidatonya pada pekan kedua Desember 2016, Duterte mengingatkan warganya bahwa ISIS akan menjadi masalah bagi negara itu.
Jika ISIS tidak mampu bertahan di Aleppo (Suriah) dan Mosul (Irak) mereka akan melarikan diri dan berangan-angan bisa mendirikan kekhalifahan yang akan meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia dan Brunei.
Duterte kemudian mendorong rakyatnya untuk bersiap menghadapi ancaman terorisme. Sikap dan respons masyarakat serta kelompok radikal di Filipina Selatan bisa dilihat sebagai indikasi ketiga.
Masyarakat Filipina Selatan terkesan siap membantu ISIS merealisasikan wilayah itu sebagai basis. Kesiapan warga Filipina Selatan itu terindikasi dari banyaknya kegiatan penyanderaan atau pembajakan di perairan Filipina Selatan.
Tingginya intensitas pembajakan kapal itu – yang berujung pada permintaan uang tebusan bagi pembebasan para sandera -- mengindikasikan bahwa masyarakat setempat, khususnya kelompok Abu Sayyaf, sedang mencari atau menggalang dana untuk menyiapkan ragam infrastruktur yang diperlukan ISIS.
Indikasi keempat adalah kembalinya puluhan simpatisan ISIS warga negara Indonesia (WNI) ke tanah air.
Jelang akhir Oktober 2016, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengemukakan bahwa sebanyak 53 WNI yang pendukung jaringan terorisme ISIS di Suriah dan Irak telah kembali ke Indonesia.
Masalah ini pun telah dilaporkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, menurut Suhardi, masih ada ratusan WNI yang berada di markas ISIS.
Simpatisan ISIS. Pertanyaannya adalah mereka kembali untuk apa? Kembali untuk menjalani kehidupan normal? Atau, kembali untuk mewujudkan rencana ISIS membangun kekhalifahan di Asia Tenggara?
Pemerintah memang memberi kesempatan bagi untuk mengikuti program deradikalisasi. Apakah mereka tulus mengikuiti program seperti itu, atau hanya dijadikan semacam kamuflase untuk menutup-nutupi kegiatan mereka sebagai pendukung ISIS?
Ada semacam gelagat bahwa sel-sel terorisme di Indonesia juga memberi respons positif terhadap rencana ISIS membangun basisnya di Asia Tenggara.
Kelompok-kelompok teroris itu sudah terang-terangan melampiaskan kebencian pada segenap jajaran Polri. Sejumlah prajurit Polri telah menjadi target serangan.
Kelompok-kelompok itu yang diduga mendalangi ricuh pasca aksi damai 411. Mereka menunggu Polisi lengah untuk bisa merampas senjata.Apalagi, ada WNI yang sangat dipercaya pimpinan ISIS.
Sosok WNI itu diduga mendalangi bom Sarinah. Bukan tidak mungkin, kelompok yang merencanakan ledakan bom di Istana Negara itu juga memiliki keterkaitan dengan WNI yang menjadi pentolan ISIS.
Indikasi terbaru tentu saja yang berkait dengan rencana makar. Seperti diketahui, Polisi telah menjadikan tersangka terhadap sejumlah orang yang diduga merencanakan makar.
Penyelidikan polisi bahkan sudah cukup jauh, karena bisa mengidentifikasi penyandang dana makar, termasuk pihak yang mengirim dan menerima dana itu.
Semua indikasi itu memang belum tentu saling berkait. Katakanlah satu sama lainnya terpisah. Namun, bisa saja semua indikasi yang merongrong ketahanan nasional itu memang dirancang oleh sebuah kekuatan besar yang tidak pernah diketahui oleh para perencana makar maupun kelompok-kelompok teroris di dalam negeri.
Kekuatan-kekuatan anti-pemerintah atau anti-Indonesia itu tentu sudah menyusun skenario untuk memperlemah ketahanan nasional sambil merongrong keutuhan NKRI.
Karena itu, menjadi masuk akal dan patut dipahami jika Presiden Joko Widodo akhir-akhir ini harus melakukan konsolidasi politik sambil menggemakan urgensi menjaga keutuhan NKRI.
Pemerintah, dan juga Panglima TNI serta Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah membaca adanya gerakan untuk mengimpor radikalisme ke Indonesia, jika ISIS gagal di Timur Tengah.
Berdasarkan kecenderungan itu, segenap komponen rakyat Indonesia tentu patut belajar dari penderitaan rakyat Irak dan Rakyat Suriah.
Jutaan rakyat dari kedua negara itu harus meninggalkan kampung halaman mereka karena pemerintah Suriah dan Irak, hingga kini, gagal melumpuhkan ISIS.
Kalau sudah begitu, mengapa masyarakat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, harus memberi ruang kepada ISIS dan pengikutnya membangun basis di kawasan ini?
Ketika ISIS memiliih wilayah Filipina Selatan sebagai basis, secara tidak langsung juga menghadirkan persoalan bagi Indonesia karena pilihan ISIS itu berdekatan dengan pulau Kalimantan dan Sulawesi.
"Dekat dengan Tarakan, Poso dan wilayah lain. Oleh karena itu, kita harus waspada. Islamic State bisa masuk ke Indonesia dari sana," kata Jenderal Gatot Nurmantyo.
Maka, selain memberi perlakuan hukum ekstra tegas kepada terduga dan tersangka teroris, pemerintah pun perlu memperkuat kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri.
Peran dan efektivitas kerja intelijen serta Densus 88 Anti Teror menjadi faktor yang sangat menentukan dalam upaya melumpuhkan jaringan ISIS di dalam negeri.
Tidak kalah pentingnya adalah keberanian pemerintah mengambil inisiatif kerjasama dengan anggota ASEAN lainnya. Perlakuan khusus terhadap wilayah perairan Filipina Selatan menjadi sangat relevan.
TNI dan kekuatan militer dari anggota ASEAN lainnya patut bekerjasama membersihkan perairan Filipina Selatan dari aktivitas terorisme.
Kalau Filipina Selatan akan menjadi basis ISIS, perairan di wilayah itu akan dimanfaatkan untuk suplai persenjataan dan peralatan lain yang dibutuhkan ISIS.
Kalau sekarang Abu Sayyaf masih sibuk membajak dan meminta uang tebusan, pada waktunya nanti mereka akan belanja persenjataan untuk mempekuat aktivitas ISIS. Kalau kemungkinan ini tidak ditangkal sejak dini, ketahanan nasional akan menghadapi ujian yang berat.