Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Di Era Media Sosial, Pembatasan Capres Sudah Tidak Relevan
Revolusi medsos telah menjadikan publik sudah mampu menembus ruang-ruang privat yang sebelumnya hanya milik para elit politik.
Editor: Malvyandie Haryadi
PENULIS: Sya'roni
Ketua Presidium PRIMA
(Perhimpunan Masyarakat Madani)
TRIBUNNERS - Saat ini DPR sedang menggodok RUU Pemilu, arus besar elit politik masih menghendaki adanya presidential threshold bagi pencalonan presiden.
Pola lama masih dipertahankan padahal zaman telah berubah.
Di era medsos seperti saat ini, elit politik harus lebih responsif dalam menangkap aspirasi.
Sudah tidak zaman lagi jika elit politik masih merasa sebagai pihak yang paling berhak mengurus negara ini, termasuk dalam menentukan kandidat capres.
Revolusi medsos telah menjadikan publik sudah mampu menembus ruang-ruang privat yang sebelumnya hanya milik para elit politik.
Dan kekuatan medsos terbukti sudah berkali-kali mampu mempengaruhi kebijakan penguasa.
Untuk itu, dalam hal Pilpres 2019 yang akan dilaksanakan berbarengan dengan pemilu legislatif, hendaknya elit politik tidak lagi berpikiran konservatif dengan kokoh mempertahankan adanya presidential threshold.
Jelas sekali, adanya presidential threslod hanya dimaksudkan untuk menjegal figur alternatif.
Rakyat akan disuguhi figur itu-itu saja yang terbukti hingga hari ini gagal membawa perubahan bagi bangsa Indonesia.
Elit politik sudah harus sadar bahwa rakyat sudah semakin pintar, maka berilah banyak alternatif calon pemimpinnya.
PT sudah tidak relevan lagi, biarkanlah seluruh parpol mencalonkan kandidat dalam pilpres.
Sebagaimana di pilpres Amerika Serikat, arus bawah sudah diberi kesempatan untuk menentukan capresnya melalui ajang konvensi.
Dari konvensi parpol itulah akan muncul satu kandidat yang akan bertarung di Pilpres.
Di Indonesia bisa mengapdosinya dengan memperbanyak capres dan rakyatlah yang akan menentukan kandidat mana yang berhak untuk lolos putaran kedua.
Elit politik tidak usah khawatir akan kemampuan rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Sekali lagi, di era medsos rakyat sudah sangat cerdas dan sudah mampu menjangkau informasi yang selama ini hanya terbatas di kalangan elit.
Elit politik harus instropeksi bahwa seleksi kepemimpinan nasional seperti yang selama ini dilakukan ternyata gagal membawa perubahan.
Parpol-parpol mainstream terlalu terbelenggu oleh kepentingan pragmatis sehingga tidak berani melakukan inovasi politik yang brilian.
Ketakutan parpol itulah yang akhirnya menggiring kepada keputusan mencalonkan figur yang pragmatis.
Misalnya, Jokowi dicalonkan karena populisnya, padahal Jokowi belum seutuhnya menyerap ideologi parpolnya, sehingga dalam kebijakannya banyak yang berbau neolib seperti menaikkan kebutuhan vital rakyat.
Dengan membuka kran bagi semua parpol bisa mencalonkan figur terbaiknya, maka rakyat akan disuguhi banyak menu alternatif.
Parpol level menengah maupun kecil dipastikan akan memanfaatkan peluang ini dengan menampilkan figur terbaiknya.
Toh, untuk menjadi parpol sudah melewati sekian persyaratan yang super ketat.
Parpol yang lolos sebagai peserta pemilu diyakini sudah mengakar kuat di lapisan masyarakat.
Untuk itu, sangat tepat bila dalam Pilpres 2019 semua parpol diberi kesempatan menampilkan kandidatnya dan biarkanlah rakyat yang memilihnya.