Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengurai Survei Pilgub Jakarta yang Belum Mewakili Publik
Publik menunggu hasil survei pasangan calon di Pilgub DKI Jakarta pascadebat.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Said Salahudin, Pemerhati Kepemiluan
TRIBUNNERS - Perbedaan hasil survei sejumlah lembaga dalam penyelenggaraan Pilkada merupakan hal yang lumrah terjadi. Tetapi kalau selisih Hasilnya cukup signifikan memberi pengaruh terhadap persepsi pemilih, hal itu menarik ditilik.
Sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabkan hasil survei satu lembaga dengan lembaga lain menjadi berlainan. Di luar faktor 'pesanan', soal metodologi, jumlah dan proporsionalitas sampel, termasuk periode waktu survei turut memunculkan perbedaan itu.
Kalau satu lembaga menggunakan metode X dan lembaga yang lain memilih metode Y, maka hasil survei bisa saja berbeda. Begitu juga kalau jumlah dan proporsi sampel yang diambil oleh masing-masing lembaga berlainan.
Soal perbedaan waktu pelaksanaan survei pun rentan menimbulkan perbedaan hasil survei. Kalau misalnya lembaga A melakukan survei pada minggu pertama dan lembaga B pada minggu ketiga, hasil surveinya juga bisa saja berbeda, betapapun metodologinya sama.
Hal ini disebabkan karena persepsi pemilih terhadap pasangan calon Pilkada cenderung dinamis. Hari ini pemilih ingin paslon C, minggu depan sudah beralih ke paslon D. Munculnya suatu peristiwa atau isu yang bersentuhan dengan paslon biasanya akan lebih memperkuat perubahan sikap pemilih itu.
Terkait perbedaan hasil dua survei Pilkada DKI Jakarta yang dirilis terakhir oleh dua lembaga, masing-masing pada tanggal 16 dan 17 Januari 2017 lalu, menurut saya itu pun wajar saja terjadi. Sebab, baik metode, sampel dan waktu survei kedua lembaga itu ternyata memang berbeda.
Hanya saja, ketika melihat hasil survei dari dua lembaga itu terpaut cukup signifikan, maka ini memang menjadi pertanyaan tersendiri.
Sebagai contoh, lembaga pertama yang merilis hasil survei tanggal 16 Januari 2017 menyebut elektabilitas paslon 1 sebesar 45%. Sementara lembaga kedua yang merilis hasil surveinya satu hari kemudian menyebut paslon 1 hanya memperoleh 36,7%. Ini kan jauh sekali perbedaannya.
Begitupun perbandingan hasil pada paslon 2 (23,3% : 32,6%) dan paslon 3 (23,5% : 21,4%). Perbedaan itu bahkan turut membedakan ranking dari masing-masing paslon.
Kalau merujuk hasil lembaga yang pertama, putaran dua Pilkada DKI Jakarta nantinya akan diikuti oleh paslon 1 dan 3, sedangkan merujuk hasil lembaga yang kedua, justru paslon 1 dan 2 yang kelak akan maju.
Menurut saya perbedaan itu biarlah menjadi bahan diskusi di ruang publik. Bagi saya sendiri hasil survei kedua lembaga itu tidak cukup menggambarkan pilihan warga Jakarta secara kekinian.
Mengapa? Walau pun hasil survei dirilis oleh kedua lembaga pascaacara debat antarpaslon tanggal 13 Januari 2017, tetapi jika dilihat pada periode waktu pelaksanaan surveinya, ternyata kedua survei itu dilakukan sebelum pelaksanaan debat.
Yang banyak ditunggu publik sekarang ini adalah hasil survei pascadebat, bukan pradebat. Setelah menyaksikan debat, sangat mungkin terjadi perubahan sikap pemilih secara signifikan. Perubahan sikap pemilih inilah yang tidak tergambar dari dua hasil survei itu.