Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Masyarakat Pro Logika Vaksin Anti Hoax

Fenomena hoax melalui gadget dan sejenisnya memperlihatkan rentannya ketahanan emosional dan moral bangsa.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Masyarakat Pro Logika Vaksin Anti Hoax
Rizal Bomantama/Tribunnews.com
Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Pol Rikwanto menunjukkan contoh beberapa berita yang pernah dicap bohong dengan menempelkan stempel "HOAX" dalam acara diskusi "Memerangi Berita dan Situs Hoax" di Hall Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (12/1/2017). 

Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila

TRIBUNNEWS.COM  -  Fenomena HOAX atau Hasutan Orientasi Anomali Xtrim dari kontribusi sosial media melalui piranti gadget dan sejenisnya telah memperlihatkan betapa rentannya ketahanan intelektual emosional dan moral bangsa menghadapi serbuan globalisasi yang begitu deras.

Peristilahan proxy war , perang multidaya , power media, bahkan serangan pintar f6 ( m.tribunnews.com 6 maret 2016) adalah gambaran begitu kompleks dampak era kesejagatan terhadap keberlajuan cita cita kemerdekaan bangsa indonesia.

Tanpa disadari kita bertahun tahun disuguhi tontonan kekerasan di media tv maupun berita berita kekerasan, kesemerawutan lalu lintas, atraksi komedi yang sering menjatuhkan orang lain diiringi tawa pemirsa serta melempar benda kemuka orang sambil tertawa telah menjadi hal yang biasa dan menjadi adagium" what you see is you get" masyarakat cenderung mengikuti, meniru perilaku orang lain yang oleh ekonom James Surowiecki disebut "mimickery" atau "monkey see, monkey do" katanya (bukan karena monkey nya namun karena bagaimana kita sering meniru perilaku orang lain).

Dalam bahasa ekonomi telah terjadi apa yang disebut "information cascade" pada masyarakat sehingga menyebabkan terjadi "herding" (perilaku menggerombol atau mengikuti apa yang dilakukan orang lain). Fenomena "herding" dan "mimickery" memang sudah menjadi bahan kajian para ilmuan dan ekonom sejak lama. Pada awal abad ke 20 seorang ilmuan bernama William Beebe mengamati perilaku herding pada kawanan semut dihutan Guyana yang secara bergerombol berjalan melingkari lingkaran dengan keliling lingkaran sepanjang 365 meter.

Setiap semut harus menghabiskan waktu selama 2 jam untuk mengelilingi lingkaran tersebut dan hal ini berlangsung selama 2 hari sampai semut-semut tersebut mati. Studi yang sama dilakukan pada perilaku manusia oleh ekonom David Scharfstein dan Jeremy Stein dari MIT dan Harvard yang mengamati perilaku herding dalam investasi (Herd Behavior and Investment, American Economic Review, 1990) serta ekonom Daniel Klein dan John Majewski dalam buku mereka tentang sejarah New York.

Benang merah dari temuan-temuan ini adalah bahwa karena sifat informasi yang terdispersi (menyebar), keputusan seseorang sering didasarkan bagaimana informasi kelompok menjadi lebih dipertimbangkan daripada informasi sendiri (private information).

Berita Rekomendasi

Dalam situasi ini sering terjadi kesalahan meniru akibat kegagalan mempertimbangkan informasi sendiri. Hal inilah yang menimbulkan fenomena "information cascade" (penyusunan informasj secara sekuen dan bertumpuk). Information cascade bisa mengakibatkan turunnya legitimasi terhadap pengetahuan sendiri, dan kemauan untuk mencari alternatif lain menjadi tenggelam. Information cascade telah dipelajari secara lebih dalam oleh ekonom Sushil Bickchandani, David Hirshleifer, dan Ivo Welch yang mempelajari perilaku fashion dan budaya dalam Journal of Political Economy (1992) yang bertajuk "A Theory of Fads, Fashion, Custom and Cultural Change as Information Cascades".

Bayangkan anda diajak oleh sekelompok teman di restoran A atau B, setiap individu dibekali dengan informasi restoran mana yang baik, namun beberapa teman anda datang terlebih dahulu ke restoran B, dan menemukan banyak mobil parkir di restoran tersebut. Merekapun secara keliru mengambil kesimpulan bahwa restoran B lebih baik sehingga pada akhirnya andapun datang kesana (meskipun pada akhirnya kecewa). Inilah infornation cascade dimana setiap orang tidak lagi mempertimbangkan informasinya sendiri dan mulai melihat tindakan orang lain dan menirunya.

Akibatnya secara kelompok akan menghasilkan keputusan yang salah dan perilaku yang menyimpang. Apa yang saya ceritakan tentang kegelisahan saya diatas adalah salah satu fenomena information cascade. Ketika anak-anak SD disuguhi tawuran kakak-kakaknya di SMP dan SMA maka terjadi information cascade dan merekapun meniru. Karena ketidakmampuan dalam hal judgment akhirnya berakibat fatal.

Fenomena ini terus menggunung karena information cascade bersumber dari masyarakat secara umum, perilaku elit politik yang gontok-gontokan, berebut kursi kekuasaan tanpa malu-malu lagi, perilaku yang serba ingin instan dan egosentrik. Anak-anak kita pada akhirnya disuguhi sistim yang serba kontradiksi. Bayangkan ketika anak-anak PAUD atau TK atau SD berada disekolah, maka ibu dan bapak guru mungkin akan mengajarkan disiplin, sopan santun dan kerja keras. Namun apa yang terjadi...?

Bagaimana ketika si anak dijemput oleh orang tuanya dari sekolah dengan sepeda motor, maka secara seketika pengetahuan tentang disiplin dan sopan santun tadi jadi berantakan. Orang tua ini kemudian menempetkan anaknya di depan sepeda motor tanpa helm, dan dengan sigap menderu melawan arus lalu lintas untuk kembali pulang.. dan si anak menyaksikan fenomena ini setiap hari bukan hanya dirinya namun juga teman-temannya.

Tidak ada disiplin, tidak ada sopan santun dan tidak mau kerja keras karena ingin short cut dengan cara melawan arus. Terjadilah information cascade yang salah dimana teori yang dipelajari di ruangan kelas berbenturan dengan realitas di lapangan. Ingat Einsten mengatakan "If Theory Crash With Reality, Reality Will Win" katanya. Lalu bisakah kita memanen information cascade ini secara lebih baik untuk kebaikan kita ? Jawabnya Ya. Information cascade yang baik adalah apa yang disebut "Intelligent Information".

James Surowiecky melihat bahwa jika intelligent information ini dimanfaatkan dengan baik, akan sangat ampuh membentuk information cascade yang lebih baik sehingga memberi kemaslahatan kepada semua orang. Syarat dari intelligent information ini adalah pertama tersedianya pilihan dan informasi yang lebih banyak dan luas, kedua adanya orang atau sekelompok orang yang menjadi teladan, yang mau berfikir cerdas dan sering berfikir out of the box.

Kombinasi keduanya akan menghasilkan herding atau gerombolan yang baik yang mampu mengubah keadaan. Secara populer ini di istilahkan dalam pepatah sebagai "birds of a feather flock together". Kalau anda mau pinter dan cerdas bergaulah dengan orang pinter dan cerdas, kalau anda ingin jadi doktor bergaulah dengan para calon doktor dan profesor... kalau anda ingin jadi artis, ya bergaul pulalah dengan artis, kurang lebih seperti itu. Tentu saja ini bukan berarti membatasi pergaulan yang lebih luas yang di anjurkan sebagai silaturahim.

"Birds of a feather flock together" lebih menggambarkan bagaimana common interest bisa lebih mudah dicapai jika berada dalam satu flock. WYSIWYG dan information cascade merupakan fenomena sosial yang sebenarnya bisa dimanfaatkan secara baik dan bijaksana jika yang WYSIWYG juga yang baik baik, sementara information cascade memerlukan keteladanan dari sekelompok orang. Dengan spektrum dampak hoax yang menggerus persatuanbangsa diperlukan upaya integral untuk meminimalisir ekses melalui.

1.Penumbuhan Gerakan Saling Percaya Antar Teman Tetangga dan tokoh atau GenSaper 2. Pendirian Badan Khusus untuk mengendalikan fenomena hoax 3.Pemberian sosialisasi pengetahuan produk oleh produsen gadget 4.Sosialisasi secara masif uu ite oleh aparatur 5.Pembangunan Komunitas Pro Logika melalui pencerahan logical fallacies

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas