Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Penangkapan Patrialis Akbar Simbol Kerapuhan di Kalangan Aparat Hukum Nasional
Patrialis Akbar merupakan orang kedua yang menjabat Hakim Mahkamah Konstitusi yang tertangkap tangan diduga telah menerima suap.
Editor: Dewi Agustina
Penulis: Bernard Ali Mumbang Haloho dan Sayed Junaidi Rizaldi
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Nasional Ormas Rumah Gerakan 98
PENANGKAPAN Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sebuah pusat perbelanjaan di Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (25/1/2017) malam, menandakan kerapuhan aparat hukum di Indonesia.
Patrialis Akbar dan 10 orang lainnya tertangkap dalam OTT KPK karena diduga menerima hadiah terkait uji materi Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pengurus Dewan Nasional Rumah Gerakan 98 mengungkapkan keprihatinan atas kejadian tersebut.
Kenapa kasus tertangkapnya Patrialis Akbar menyimbolkan terjadinya kerapuhan di kalangan aparat hukum nasional?
Jawabannya ya, jelas. Sebab Patrialis Akbar merupakan orang kedua yang menjabat Hakim Mahkamah Konstitusi yang tertangkap tangan diduga telah menerima suap.
Tiga tahun sebelumnya, Akil Mochtar, Hakim Mahkamah Konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap di rumah dinasnya, Jalan Widya Chandra karena menerima suap Rp 3 miliar dalam mata uang rupiah dan asing awal 2013.
Pengadilan Tipikor pada 30 Juni 2014 memvonis Akil hukuman seumur hidup karena terbukti bersalah atas berbagai kasus suap terkait putusan sengketa Pilkada.
Perilaku Patrialis Akbar bila terbukti di pengadilan Tipikor bersalah, maka jelas bahwa sebagai orang yang duduk di institusi penegak hukum yang berhak membatalkan peraturan pemerintah, maupun undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, ia jelas tidak amanah.
Lalu bagaimana perilakunya bisa dicontoh oleh para hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun hakim agung lainnya, termasuk oleh aparat kepolisian, dan kejaksaan?
Secara antropologis, figur contoh merupakan sesuatu yang harus ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan penyelenggaraan negara.
Sebab, masyarakat Indonesia dalam kebudayaannya menganut orientasi nilai hidup vertikal. Siapa yang dianggap mumpuni baik sebagai tokoh masyarakat, tokoh bangsa, maupun hakim agung maupun Mahkamah Konstitusi mereka pasti akan dicontoh.
Bila mereka mampu teguh menegakkan hukum dan adil, maka para hakim, dan aparat penegak hukum lainnya akan menjadikannya contoh.
Rakyat pun bisa merasakan keadilan putusan-putusannya. Ketidakadilan yang bisa memicu konflik antara suku, golongan, keyakinan, maupun politik bisa dihindarkan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.