Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kondisi Gunung Botak di Pulau Buru Kian Menyedihkan
kondisi Gunung Botak di Pulau Buru semakin hari kian memprihatinkan. Berdasarkan penelitian...
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Gunung Botak di Pulau Buru Maluku, kondisinya semakin memprihatinkan. Lingkungan alamnya kian rusak. Kerusakan ini akibat serbuan ratusan penambang emas mengeruk isi bumi secara ilegal. Lebih parah lagi, para penambang liar menggunakan bahan kimia berbahaya seperti sianida dan mercury.
Akibatnya Gunung Botak semula hijau kini kering kerontang. Ratusan hektare kawasan yang sebelumnya dipenuhi pohon sagu dan kayu putih, kini merangas, gersang dan menghitam. Pohon yang menjadi sumber kehidupan sudang tinggal kenangan. Sejumlah hewan ternak dilaporkan mati setelah makan rumput dekat areal pertambangan. Ancaman juga membayangi anak cucu masyarakat di Pulau Buru.
Yusthinus T Male, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, Ambon, yang terlibat dalam penelitian kondisi Gunung Batok mengakui bahayanya merkuri bagi manusia. "Merkuri dan bahan kimia lainnya masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan," paparnya, Senin (30/01).
Penelitian Yusthinus dimulai pada 2012, setahun setelah aktivitas penambangan massif. Penelitian diawali pada sedimen sungai. Mereka menemukan kadar merkuri di sana sudah sangat tinggi, mencapai 9 miligram (mg) per 1 kilogram (kg) lumpur. Padahal, ambang batas merkuri pada sedimen tidak boleh lebih dari 1 mg per 1 kg lumpur. Sampel dari sedimen di tujuh lokasi.
Penelitian dilanjutkan tahun 2014 dengan fokus pada bahan makanan yang meliputi udang, ikan, kerang-kerangan, dan kepiting yang diambil dari Teluk Kayeli, muara sungai yang sudah tercemar. Konsentrasi merkuri pada 30 persen sampel itu pun sudah melampaui batas atas standar nasional yang hanya 0,5 mg per 1 kg sampel. Temuan pada udah lebih dari tiga kali lipat dibandingkan standar, ikan tujuh kali, kerang enam kali, dan kepiting dua kali.
"Kami juga meneliti kandungan merkuri pada tubuh manusia dengan menjadikan rambut sebagai sampel. Hasilnya, pada rambut penduduk di sekitar tempat pengolahan emas, kadar merkuri 18 mg per 1 kg sampel atau lebih tinggi 36 kali dari standar. Ada lima warga dari petambang yang dijadikan sampel. Pada sampel penduduk yang bukan pekerja tamang ditemukan konsentrasi merkuri di atas dua sampai tiga kali standar. Lima penduduk dijadikan sampel," tandasnya.
Sebelum memublikasikan hasil penelitiannya, Yusthinus dan Albert Nanlohy selaku pemimpin tim penelitian sudah melakukan uji banding hasil analisis sampel sama di Australia dengan melibatkan peneliti Australia, Amanda J Reichelt-Brushett, ahli lingkungan terkenal di dunia. “Walaupun hanya dua sampai tiga kali melebihi ambang batas, hal itu sudah berbahaya. Melalui proses biomagnifikasi, yaitu pelipatgandaan konsentrasi merkuri melalui rantai makanan, manusia yang menempati puncak rantai makanan akan menerima dampak akumulasi merkuri,” paparnya.
Merkuri akan menumpuk di otak sehingga menyebabkan kegagalan motorik, seperti tangan tidak bisa bergerak. Gejala awal adalah kesemutan hingga lumpuh total. Khusus untuk wanita hamil atau menyusui, merkuri akan menular ke janin atau bayi sehingga bisa mengakibatkan cacat fisik dan mental. Merkuri bisa menembus plasenta sehingga dikhawatirkan tragedi Minamata di Jepang bakal terulang di Buru.
Data Dinas Pertanian Maluku, pada 2014, dari produksi padi sebanyak 101.836 ton gabah kering giling, 42,33 persen berasal dari Buru. Padahal, banyak area persawahan di Buru menggunakan air dari sungai yang sudah tercemar itu.
Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Krisis Kesehatan Dinas Kesehatan Maluku Ritha Tahitu ketika itu juga mengemukakan temuan merkuri yang melebihi ambang batas di sejumlah lokasi, seperti Teluk Kayeli, tempat pemandian umum di Anahoni, serta sumur bor di Desa Wamsait dan Desa Kayeli. Tahun 2014, memang menjadi puncak penyerbuan penambang emas ilegal di Gunung Botak. Diperkirakan jumlah penambang mencapai 60 ribu orang.
Gunung Botak pun merana, bukan hanya emasnya dikeruk tanpa izin, tetapi Lea Bumi itu juga terpapar racun berbahaya. Ketika Presiden Joko Widodo datang ke Pulau Buru untuk melakukan penanaman perdana 1 juta hektar jagung dan padi Mei tahun lalu, dari helikopter presiden Jokowi melihat Gunung Botak yang gundul dan rusak.
Warga juga menyampaikan keluhan tentang keberadaan tambang emas ilegal yang berdiri tidak jauh dari areal pertanian.Presiden Joko Widodo lalu memerintahkan dengan tegas agar tambang tanpa izin itu segera ditutup.
Sejumlah upaya menyisir dan mengeluarkan para penambang liar dilakukan berulangkali. Bukan hanya kepolisian tetapi juga TNI dan Satpol PP. Namun penyisiran dilakukan, beberapa hari kemudian para penambang liar kembali datang. “Lebih dari 23 kali penyisiran, tetapi selalu saja para penambang liar itu kembali datang,” ujar Helen Heumasse, Kasie Pengawasan Konservasi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku.
Sampai akhirnya pasukan Rider didatangkan, penambang emas liar bisa diusir turun. Upaya pembenahan, perbaikan lingkungan pun dilakukan. Pemerintah daerah telah menunjuk PT Buana Pratama Sejahtera (BPS) untuk melakukan normalisasi sungai Anahoni.
PT BPS yang memiliki izin berdasar SK Gubernur Maluku nomor 383 tahun 2016 tertanggal 23 November 2016 untuk memanfaatkan hasil penataan dan pemulihan lingkungan pada lokasi bekas pertambangan emas tanpa izin Gunung Botak dan Gogorea. UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda disebutkan perizinan untuk pertambangan dikeluarkan oleh pemerintah provinsi.