Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Petrus: Negara Tak Boleh Mengalah dan Mengorbankan Rasa Keadilan dalam Kasus Ahok

Pemerintah harus memberikan pilihan sikap yang tegas dan pasti terhadap opsi pengaktifan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Petrus: Negara Tak Boleh Mengalah dan Mengorbankan Rasa Keadilan dalam Kasus Ahok
TRIBUNNEWS.COM/RAMDANI
Terdakwa kasus dugaan penistaan Agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersama kuasa hukumnya mengikuti sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (13/2). Dalam sidang ke-10 kasus penitasan agama tersebut Jaksa Penuntut Umum rencananya menghadirkan 4 saksi ahli. TRIBUNNEWS.COM/MI/Pool/RAMDAN 

PENGIRIM: PETRUS SELESTINUS, KOORDINATOR TPDI & ADVOKAT PERADI

TRIBUNNERS - Pemerintah harus memberikan pilihan sikap yang tegas dan pasti terhadap opsi pengaktifan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Pemerintah sebaiknya tidak akan mengeluarkan keputusan pemberhentian sementara terhadap Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, terkait dengan kedudukannya sebagai Terdakwa dalam kasus penistaan agama sesuai dengan Surat Dakwaan secara alternatif melanggar pasal 156a atau 156 KUHP.

Alasannya karena ketentuan pasal 83 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemerintahan Daerah secara limitatif ditujukan hanya kepada tindak pidana yang bersumber dari pelanggaran UU yang menganut sistem pemidanaan minimum khusus dan maksimum khusus.

Atau pada kejahatan-kejahatan serius yang berkarakter sangat merugikan, membahayakan dan meresahkan masyarakat luas dan yang berpotensi mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Saat ini 4 (empat) Fraksi di DPR dan beberapa pakar hukum tata negara secara keliru manafsirkan makna sosiologis, yuridis dan filosofis dari ketentuan pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemda, dengan memaksa Menteri Dalam Negeri untuk memberhentikan sementara Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, atas alasan Dakwaan Jaksa pasal 156 atau 156a KUHP.

Seakan-akan tindak pidana yang dimaksud pada pasal 156a KUHP masuk dalam kriteria atau kualifikasi kejahatan serius yang berkarakter sangat merugikan merugikan, membahayakan dan meresahkan masyarakat luas, sehingga menyebabkan seorang Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara.

BERITA REKOMENDASI

Langkah keempat Fraksi di DPR (Demokrat, PKS, Gerindra dan PAN) yang sedang menggalang penggunaan hak angket untuk melakukan penyelidikan terhadap Pemerintah sangat tidak proporsional, terlalu dicari-cari, bahkan politicking semata-mata untuk menjegal Ahok dengan membuat tafsir sesat terhadap ketentuan pasal 83 UU No. 23 Tahjn 2014, Tentang Pemda.

Padahal Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemda secara pasti dan tepat telah membukakan pintu untuk seorang Kepala Daerah untuk diberhentikan sementara dari jabatan atau dilarang menggunakan segala tugas dan kewenangannya, hanya pada dua pendekatan.

Pertama, pendekatan dengan menggunakan mekanisme pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemda yang menunjuk kepada kualifikasi kejahatan yang diatur dengan Undang-Undang yang menganut sistim, pola dan pedoman pemidanaan minimum khusus dengan minimal ancaman pidana 5 (lima) tahun, UU Tipikor, Teroris, psikotropika, Narkotika dll.

Pendekatan kedua, adalah : menggunakan mekanisme sesuai dengan ketentuan pasal 65 UU No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemda, dimana seorang Kepala Daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Kepala Daerah sehingga Wakil Kepala Daerahlah yang menjalankan tugas dan wewenang Kepala Daerah.

Menurut Doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, beberapa delik tertentu memang ditentukan ancaman pidana dengan sistem, pola dan pedoman pemidanaan penjara minimum khusus, terutama terhadap delik yang dipandang meresahkan masyarakat, dan akibatnya sangat meresahkan masyarakat, mengganggu ketertiban umum.


Terlebih-lebih kejahatan yang mengarah kepada ancaman perpecahan berbangsa dan bernegara/NKRI.

Ketentuan asal 83 UU No. : 23 Tahun 2014, Tentang Pemda secara sosiologis, filosofis dan yuridis bertujuan agar di satu pihak para Kepala Daerah tidak mudah dikriminalisasi untuk tujuan menjegal pencalonannya kembali pada periode berikutnya dan di pihak lain bertujuan agar masyarakat terlindungi dari kejahatan yang meresahkan masyarakat secara luas seperti korupsi, pencucian uang, narkotika, psikotropika, teroris dan pidana lainnya yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas