Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Fenomena Pilkada di Ibu Kota: Susahnya Menyeragamkan Pilihan Warga DKI
Sebagai warga DKI, proses kemarin kita hargai dan hormati. Itu adalah pilihan warga DKI ‘kebanyakan’. Dan kita petik hikmah dan pembelajaran.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Sekali lagi warga Jakarta menyatakan bahwa mereka dalam memilih tidak bisa diseragamkan.
Meski ada usaha besar dari para paslon dengan menggerakkan berbagai cara namun nyatanya bilik suara berbicara lain.
Setiap masalah yang ada di Jakarta memang unik, belum tentu yang kita pikirkan dengan menggerakkan isu-isu besar dapat menyeragamkan pilihan warga.
Ini terbukti dari hasil pilkada DKI Jakarta yang persebaran suaranya terbagi di tiga paslon.
Hanya saja kisah kampanye negatif, saling serang, hoax dan yang kita takutkan dengan mengankat berbagai isu sektarianisme, konflik berbau sara, etnis, ras, penistaan seperti menutupi ‘keragamaan’ pilihan warga DKI.
Ada juga yang menggunakan justifikasi paslon ini lebih santun, paslon ini pemarah atau paslon ini lebih perhatian pada warga, namun sepertinya tidak mempengaruhi pilihan warga yang sudah pada kebal dengan kerasnya hidup di Ibukota.
Apalagi memberi dampak signifikan pada perolehan suara, karena pergerakan suara cenderung tidak ada yang mendominasi.
Sayangnya ekspresi keberagaman ini hanya bisa kita nikmati setiap 5 tahun sekali, sedih bukan? Karena ada rasa ‘sesuatu bangetz’ ketika nyoblos, seperti mengeluarkan penat, kekecewaan melihat permasalahan di Jakarta yang tak kunjung selesai, seperti banjir, ketakutan atas aksi massa yang tidak bisa ditebak, jauhnya jarak dan habisnya waktu dalam kemacetan, hingga mahalnya ongkos kehidupan.
Di sisi lain, ternyata para pemilih lebih dominan mempertimbangkan pilihannya melalui debat KPU dibanding kampanye terbuka dan blusukan. Para pemilih belum berani mengungkapkan pilihannya di depan umum atau menyatakannya langsung ketika para paslon blusukan, baru berani di bilik suara.
Ini terbukti di kediaman Bapak Djarot tempat mencoblos, tidak serta merta mengartikan warga disana memenangkannya.
Namun jangan salah, hal tersebut telah membuat para pemilih bertemu dan saling berkomunikasi secara tidak langsung atas hasil pengumpulan suara. Reaksi dan tanggung jawab sosial warga, seperti melatarbelakangi dalam mempertimbangkan pilihan, meski dengan isu-isu yang sangat sensitif dan getir antar tetangga dan warga.
Ini terbukti dengan pernyataan paslon 2 yang menyatakan ketidakyakinan atas suara yang diperoleh dengan berbagai isu yang menerpa. Begitu juga paslon 3 terpana dan menganga melihat hasilnya dengan mengatakan diluar ekspetasi.
Ada ketidakpercayaan dalam melihat persebaran suara, dengan melihat hasil perhitungan sementara dan trend netizen dalam menyikapinya di sosial media.
Reaksi ini diperlihatkan dengan berbagai persebaran respon yang mereka rasakan dari hasil kemarin.
Memang sangat kritis menyatakan ini di muka publik, namun kita tidak bisa membohongi. Artinya hikmah ini harus diambil oleh semua paslon dan para calon pemiihnya untuk mempersiapkan lebih baik lagi.
Bahwa penyanderaan pemilih dengan penyeragaman isu tidak begitu ‘mempan’, hanya menyedot sekitar 17% suara.
Benturan keras yang disajikan para paslon telah membentuk pilihan warga semakin rasional, rasa senasib sepenangungan warga DKI. Serta pertimbangan masalah sosial yang riil dirasakan diderah masing-masing.
Mereka ingin segera menyudahinya dengan mencari paslon yang mampu secara massif menjawab keragaman masalah mereka di masyarakat, baik yang berada di ujung sana dan sini Jakarta.
Artinya paslon yang masuk putaran kedua punya tantangan melanjutkan mandat warga yang tersembunyi di balik bilik.
Para pemilih memberi sinyal, baik kepada paslon maupun pemilih lainnya agar mencari paslon yang mampu memberi kebermanfaatan dengan arti seluas luasnya pada warga.
Karena sedari dulu mereka hidup homogen dan mempunyai keragaman sikap, ‘tidak dapat disetir’ alias ‘udah dari sononye’. Ini juga sinyal bagi para pemilih yang mulai bisa berinteraksi secara pasif melalui pemetaan hasil suara warga.
Namun dugaan memanfaatkan isu yang mudah ‘menjadi api’ kedepan kelihatannya masih sangat menggoda untuk digunakan kembali.
Meski sudah dibuktikan di pilkada DKI ‘jaman Pak Jokowi’ dan Pilpres kemarin tidak terbukti. Kita lihat apakah para pemilih dan Netizen masih menggunakan cara ‘tuyul modern’ dengan mengirimkan sentimen negatif melalui sosial media dan media publikasi lainnya.
Masyarakat akan menghitung hari ‘count down 60 days’.
Siapakah yang bisa menjawab persoalan warga DKI secara kongkrit. Kalau boleh warga DKI di ujung sono dan sini bicara begini ‘Buktikan Programmu Dapat Kami Rasakan Langsung Jelang 60 Hari Nyoblos’.
Kedua Paslon tidak mungkin bermain main dan berwacana dalam waktu yang sangat singkat 2 bulan. Perlu aksi terukur dan dapat dirasakan langsung dalam mempertahakan program dan mengkritisi program.
Yang keduanya punya cara meyakinkan masing-masing. Tentunya dalam bingkai keragaman masalah yang terjadi di Betawi, bukan penyeragaman isu. Apakah Paslon Anda Siap?
Sebagai warga DKI, proses kemarin kita hargai dan hormati. Itu adalah pilihan warga DKI ‘kebanyakan’. Dan kita petik hikmah dan pembelajaran. Jangan terlalu menyeragamkan, memudahkan atau menganggap ‘mudah dipengaruhi’ dengan memberi stigma kepada para pemilih.
Beberapa lembaga survey menyatakan itu tidak ‘ngepek’ bagi warga Jakarta setelah mengomentari hasilnya. Ini terbukti dengan memberi batas rentang pada hasil surveynya.
Itu menandakan lembaga survey sebagai konsultan politik tidak berani menyatakan hasilnya ‘paling mendekati’. Menarik bukan? Harusnya kita mulai menyadari keberagaman pilihan warga. Tentunya kita menantikan ‘efek kejut jilid dua’ dari warga DKI yang berujung kebahagiaan seperti hari ini. Selamat menghitung hari.
Farid Ari Fandi
Warga Rawa Terate Cakung Jaktim.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.