Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pekerja JICT Demo Perpanjangan Kontrak Pelabuhan Petikemas Hutchison
Sebanyak 300 pekerja JICT mempertanyakan alasan perpanjangan JICT oleh Hutchison di depan kantor Hutchison Port Indonesia (HPI) di Graha Rekso, Kelapa
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 300 pekerja JICT menggelar aksi unjuk rasa terkait kontrak pelabuhan petikemas Hutchison di depan kantor Hutchison Port Indonesia (HPI) di Graha Rekso, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Mereka membeberkan sejak tahun 2015 hingga April 2017, pihak Hutchison Port telah membayarkan uang sewa perpanjangan JICT kepada PT Pelindo II (Persero) walaupun tanpa ada izin pemerintah dan temuan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut para demonstran per tahun Hutchison diharuskan membayar uang sewa USD 85 juta atas perpanjangan kontrak pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia tersebut. Namun uang sewa tersebut dibayarkan oleh JICT bukan Hutchison Port sebagai investor.
Ketua Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) Nova Sofyan Hakim merasa heran atas skema pembayaran sewa perpanjangan JICT tersebut dan terkesan sangat dipaksakan.
"Ini kan pembodohan publik. Sudah melawan hukum, konyolnya Hutchison Port yang investasi di JICT tapi JICT dan pekerja yang suruh bayar. Mereka (Hutchison) hanya bayar uang muka perpanjangan 20 tahun sebesar USD 215 juta. Sisanya JICT yang diperas habis untuk bayar uang sewa," kata Nova saat aksi di depan kantor Hutchison Port Indonesia, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Lebih jauh Nova menjelaskan bahwa pekerja JICT tidak anti investasi asing. Namun Hutchison begitu diuntungkan karena membeli JICT dengan harga murah (USD 215 juta) bahkan mengeluarkan uang sewa kepada Pelindo II lewat pemotongan hak-hak karyawan.
"Semangat nasionalisme kami untuk perjuangkan agar JICT dimiliki 100% Indonesia, bukan pekerja menyumbangkan haknya untuk bantu Hutchison beli JICT. Toh sudah terbukti perpanjangan JICT tidak ada nilai tambah bagi Indonesia, Pelindo II dan pekerja sendiri," kata Nova
Dari dokumen Hutchison, Nova menyesalkan uang muka perpanjangan JICT oleh Hutchison kembali modal hanya dalam 4 tahun.
"Bahkan perpanjangan kontrak di TPK Koja sampai 2038, Hutchison hanya bayar USD 50 juta, padahal harga Koja tahun 2000 saja sebesar USD 147 juta. Jadi bisa dibilang, Hutchison ini bukanlah melakukan investasi tapi malah pesta pora di JICT dan Koja," kata Nova.
Berdasarkan laporan audit Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) BPK Nomor 48/Auditama VII/PDTT/12/2015 tertanggal 1 Desember 2015, akibat perpanjangan JICT, negara dirugikan Rp 650 milyar akibat tidak optimalnya uang muka perpanjangan oleh Hutchison.
Selain itu, menurut laporan BPK, perpanjangan JICT dilaksanakan tanpa izin Menteri BUMN dan izin konsesi dari Menteri Perhubungan.
"Jelas ini preseden buruk terhadap penerapan GCG oleh investor asing di Indonesia. Untuk itu pemerintah harus membatalkan perpanjangan kontrak JICT," pungkas Nova.