Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kriminalisasi
Pak AR dan HRS, sejatinya sangat sederhana: nglurug tanpa bala, sapa bener ketenger, sapa salah seleh.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Kriminalisasi! Kata ini menjadi sangat populer akhir-akhir ini, terutama sejak Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab ditetapkan sebagai tersangka penghinaan Bung Karno dan Pancasila oleh Polda Jawa Barat, yang kemudian berlanjut dengan penetapannya sebagai tersangka perkara percakapan via WhatsApp berkonten pornografi yang diduga melibatkan HRS dengan Firza Husein oleh Polda Metro Jaya.
“Kriminalisasi” kian populer setelah nama Amien Rais, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), disebut menerima aliran dana Rp 600 juta oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Iskandar Marwanto dalam sidang perkara korupsi pengadaan alat kesehatan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (31/5/2017) malam, dengan terdakwa mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.
Tudingan kriminalisasi terhadap Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut tentu saja dilayangkan para pendukung HRS dan AR.
Karena merasa ada kriminalisasi itulah HRS enggan diperiksa polisi dan lebih memilih umrah lalu tinggal sementara di Arab Saudi, kalaupun pulang ke Indonesia harus dijemput jutaan pendukungnya sampai Bandar Udara Soekarno-Hatta lumpuh. Bahkan menurut pengacaranya, Sugito Atmo Pawiro, bisa saja HRS baru pulang ke Indonesia setelah Joko Widodo tidak lagi menjadi Presiden RI (Tribunnews.com, Senin 5 Juni 2017).
Sedangkan AR, setelah mengakui menerima dana Rp600 juta, tapi dari mantan Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir, bukan dari Siti Fadilah, mengirim utusan ke KPK, yakni Ketua Presidium Alumni Aksi 212 Ansufri Sambo, Dradjat Wibowo, Saleh Daulay dan Hanafi Rais, putranya, Senin (5/6/2017), untuk bertemu pimpinan KPK, namun tidak ditemui.
Kedatangan utusan AR ke KPK ini dibarengi dengan puluhan mahasiswa pendukungnya yang kemudian menggelar orasi di KPK. Seperti HRS, AR pun akan umrah, namun kepergiannya ke Tanah Suci itu ia klaim bukan untuk menghindari hal yang sedang dihadapinya (Tribunnews.com, Jumat 2 Juni 2017).
“Kriminalisasi”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti, “proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.”
Tudingan kriminalisai itu sontak dibantah Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian. Ia memastikan proses hukum sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Menurut Tito, pengertian kriminalisasi harus disepakati sebagai perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang dan dipaksakan. Sebaliknya, jika proses hukum berdasarkan undang-undang yang disertai fakta hukum, itu adalah penegakan hukum yang sah, bukan kriminalisasi.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah juga membantah KPK melakukan kriminalisasi terhadap AR. Dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi, katanya, KPK hanya fokus pada fakta hukum.
“Nglurug Tanpa Bala”
Sebagai orang Jawa, lahir di Surakarta 26 April 1944, selayaknyalah AR, bahkan juga HRS, belajar falsafah Jawa “nglurug tanpa bala” (berjuang tanpa melibatkan massa), “sekti tanpa aji” (berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan), dan “menang tanpa ngasorake” (menang tanpa merendahkan lawan). Kuncinya sederhana: “sapa bener ketenger” (siapa benar akan kelihatan), “sapa salah seleh” (siapa salah akan menyerah).
AR mestinya tak perlu mengirim utusan dan melibatkan massa ke KPK. Kalau memang merasa benar, cukup tunggu undangan KPK untuk diklarifikasi atau diperiksa sebagai saksi. Di KPK silakan jelaskan bahwa uang Rp600 juta itu benar-benar dari SB, tak terkait dengan perkara korupsi alkes.
AR juga tak perlu “nyakot” (menggigit) pihak lain, dengan mengancam akan melaporkan dugaan korupsi dua tokoh lain ke KPK seperti ia sebutkan dalam jumpa pers di kediamannya, Gandaria, Jakarta Selatan, Jumat (2/6/2017). Itu adalah dua hal yang berbeda. Kalau memang AR punya data dugaan korupsi dua tokoh yang belum ia sebut, silakan serahkan ke KPK, biarlah KPK yang mengurusnya.
Bagi HRS, kalau memang mau kembali ke Tanah Air, silakan datang saja, tak perlu melibatkan jutaan massa yang dapat melumpuhkan bandara. Di depan polisi, silakan jelaskan bahwa tuduhan percakapan mesum itu tidak benar adanya, dan sekadar rekayasa. Silakan pula ajukan praperadilan untuk membuktikan bahwa penetapannya sebagai tersangka oleh polisi salah.
Pihak HRS juga tak perlu “memaksa” Presiden Jokowi melakukan intervensi dengan memerintahkan Kapolri untuk menghentikan kasusnya. Bila dalam kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, pihak HRS mendesak Jokowi tidak melakukan intervensi, dan itu dipenuhi Jokowi,mengapa justru sebaliknya dalam kasus HRS ini? Equality before the law, semua orang setara kedudukannya di muka hukum. Itulah prinsip demokrasi dan negara hukum seperti Indonesia.
Pak AR dan HRS, sejatinya sangat sederhana: nglurug tanpa bala, sapa bener ketenger, sapa salah seleh. Tak perlu galau, karena kebenaran selalu berdiri di tengah, tak pernah memihak!
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tingggal di Jakarta.