Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Seharusnya 'Kita Pancasila' bukan 'Saya Pancasila'

Tapi kalau dibilang “problem primer kita adalah nilai”, tidak bisa disalahkan juga, sampai-sampai Pancasila dipolarisasikan dengan Islam

Editor: Sanusi
zoom-in Seharusnya 'Kita Pancasila' bukan 'Saya Pancasila'
Dokumentasi Panitia 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor
Budayawan Emha Ainun Nadjib saat tampil bersama Kiai Kanjeng memeriahkan Peringatan 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor di lapangan sepak bola pondok, Desa Gontor, Ponoro, Jawa Timur, Rabu (31/8/2016) malam. DOKUMENTASI PANITIA 90 TAHUN PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR 

Oleh: Emha Ainun Nadjib

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seluruh pertengkaran kokok ayam yang tak kunjung reda ini semoga hanyalah “love hate relationship” dalam percintaan rumah tangga. Sebenarnya semua pihak diam-diam merasa rindu untuk menyatu kembali.

Tetapi mungkin sekali asumsi saya ini “over-romantic” dan simplifikatif. Kalau Pak Ayam Jago bilang “masalah bangsamu bukan bab kebenaran, tapi kekuasaan. Bukan soal perbedaan tafsir suara kokok ayam, melainkan soal penggumpalan modal, penggunaannya untuk penguasaan, kapitalisasi hukum, pasar jabatan, pembotohan kepemimpinan – sampai kelak tuntas pemilikan dan penjajahan atas Negeri ini…” – susah dibantah juga.

Tapi kalau dibilang “problem primer kita adalah nilai”, tidak bisa disalahkan juga, sampai-sampai Pancasila dipolarisasikan dengan Islam, Negara didikotomikan dengan Agama. Itu semua bukan soal substansi nilai dan parameter kebenaran, melainkan bagian dari strategi cuci otak nasional dan global. Semakin banyak orang yang tidak memahami bahwa itu sebenarnya soal “maqam” atau konteks.

Kalau di Pasar, orang bertanya “Sampeyan siapa?”, kita jawab “Saya dari Kadipiro”. Kalau di pertemuan bangsa-bangsa, kita jawab “Saya Indonesia”. Kalau di perkumpulan kerukunan ummat beragama, kita jawab “Saya Budha”. Kalau menghadap Tuhan, kita bilang “Aku hamba-Mu”. Tidak di setiap ruang dan waktu tepat kita bilang “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Bahkan kepada istri di kamar pribadipun tidak kita katakan “Saya suamimu”.

Jadi apa sebenarnya yang berlangsung? Pakai Bahasa sehari-hari saja deh. Semua ini hanya bagian otomatik dari alur stigma dan fobi internasional, yang kini juga sangat berlaku nasional: untuk “tidak menyukai Islam”. Pokoknya Islam itu buruk, kumuh, bodoh, radikal, teroris, intoleran, uncivilized, bukan pahlawan kemerdekaan, udik sejarah, tidak bisa move-on. Apapun saja narasi politik, retorika informasi dan diplomasi komunikasinya: ujungnya adalah Islam itu terkutuk dan harus disirnakan.

Orang Islam tidak harus dimusnahkan, asal ikut tidak percaya kepada Islam dan turut mengkicaukan narasi, retorika dan diplomasi itu. Kaum Muslimin tak disingkirkan, asalkan yang dianut adalah Islam-nya para penista Islam, bukan Islam menurut Maha Desainernya, yakni Allah SWT. Bahkan narasi fobia Islam juga muncul dari dalam diri Umat Islam sendiri: bagaimana supaya orang Islam mensekunderkan AlQur`an, dipisahkan cintanya kepada Kanjeng Nabi, dan diubah konteks hubungan cintanya dengan Allah.

Berita Rekomendasi

Allah menyatakan “kalau memang kalian cinta kepada-Ku, maka ikutilah Muhammad kekasih-Ku”. Atau “barang siapa rindu untuk berjumpa dengan-Ku, maka beramal salehlah” – dimensi cinta dan rindu diurai dan disembunyikan ke ruang kosong. Kalau jadi Muslim, cukup “casing”nya saja, KTPnya saja, papan namanya saja, identitas formalnya saja.
“Software”nya jangan dipakai, sebab merupakan pengalang utama bagi ketimpangan ekonomi, ketidakadilan politik, ketidak-seimbangan sosial, serta kebersamaan kemanusiaan. Maka Islam harus diumumkan sebagai musuh Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, karena yang dibungkus oleh PS dan BTI adalah teknokrasi ketimpangan dan ketidak-seimbangan nasional dan internasional.

Tulisan ini adalah seri berikutnya lagi dari Tafakur Pancasila. Kalau kecenderungan perilaku nasional kita adalah “Talbis” (Iblis berkostum Malaikat), pasti muncul kaum yang juga pasti disebut anarkis intoleran yang cemas bahwa kali ini bukan hanya harta benda yang dikuasai, tapi juga harga diri, martabat, bahkan mungkin nyawa.

“Untunglah” selama puluhan tahun bangsa ini terlanjur dididik oleh konsep bahwa “Nusantara bukan Kukuruyuk”. Mereka meyakini “Indonesia bukan Jawa” atau “Indonesia bukan Islam”.

Mereka belum mengenal pandangan sebaliknya: Indonesia itu ya Bugis ya Tolaki ya Madura ya Sasak dll. Indonesia itu ya Hindu ya Budha ya Kristen ya Katolik ya Islam ya Darmogandhul dan Gatoloco dan semuanya. Semua mereka adalah Pancasila. Bhinneka Tunggal Ika itu mengutamakan penerimaan, bukan gagah menegakkan penolakan. Dari pihak manapun.

Kalau semangat kebhinnekaannya adalah penolakan, maka bangsa kita terbiasa saling men-tidak-kan satu sama lain.

Kalau engkau nyatakan “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Yang bukan “Saya” jadi merasa dituduh tidak Indonesia dan tidak Pancasila. Bagaimana akan rindu? Dengan siapa akan menyatu? Kenapa kok tidak “Kita Indonesia, Kita Pancasila”?.

Posisi Presiden itu mempersatukan dan mengayomi, bukan menyatakan diri pribadi, apalagi memusuhi.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas