Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
“Jalan Tikus” Lemahkan KPK
Apakah DPR telah menjadikan KPK sebagai common enemy (musuh bersama) yang harus dilenyapkan? Bisa jadi!
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Ketika semua jalan tertanda forbidden, “jalan tikus” pun jadi opsi, yang penting lebih cepat sampai ke tempat tujuan.
Itulah yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat ini untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan strategi perang ala Sun Tzu pun ditempuh dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sedikitnya ada 16 upaya untuk memperlemah KPK, delapan di antaranya berasal dari DPR, hak angket salah satunya. Delapan lainnya dari luar DPR seperti judicial review Undang-Undang (UU) No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, teror terhadap penyidik, pimpinan KPK dan keluarganya, penarikan tenaga penyidik KPK, dan sebagainya.
Novel Baswedan, penyidik senior KPK, telah menjadi korban teror itu. Ironisnya, hingga lebih dari dua bulan sejak peristiwa terjadi, pelaku teror terhadap Novel belum juga tertangkap. Benarkah yang dikatakan Novel kepada majalah Time bahwa ada jenderal polisi yang diduga terlibat?
Semula hak angket ditujukan untuk meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan politikus Partai Hanura, Miryam S. Haryani. Pasalnya, saat diperiksa KPK dalam kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP, Miryam mengaku ditekan oleh enam anggota Komisi III DPR.
Namun, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Miryam justru mencabut semua keterangannya di Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Kini, tujuan hak angket mulai bergeser. Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa menyatakan pihaknya akan mendefinisikan ulang posisi KPK dalam lingkup ketatanegaraan di Indonesia.
Menurutnya, KPK belum menjalankan fungsi utamanya sebagai trigger mechanism atas kepolisian dan kejaksaan dengan melakukan koordinasi dan supervisi dalam pemberantasan korupsi. Yang dilakukan KPK justru lebih banyak menindak, sehingga harus diakhiri (Kompas.com, 14 Juni 2017).
Dengan kata lain, rekaman penyidikan Miryam hanya entry point (titik masuk) dan “jalan tikus” untuk meng-“obok-obok” KPK karena upaya revisi UU KPK selalu kandas.
Revisi UU KPK, salah satunya untuk mempereteli kewenangan super KPK, kerap diupayakan DPR namun selalu kandas karena kuatnya desakan publik. Kewenangan super yang hendak dipereteli, misalnya, KPK hanya boleh melakukan penyadapan telepon bila sudah ada izin dari pengadilan.
KPK juga akan diberi kewenangan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) yang sebelumnya dilarang, dengan dalih hak asasi manusia (HAM). Pembubaran KPK pun gencar disuarakan kalangan DPR, terutama Fahri Hamzah yang kini menjabat Wakil Ketua DPR. Sejak itu, semua jalan konvensional sepertinya tertutup. “Jalan tikus” pun akhirnya dicari.
Hak Angket KPK sendiri, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, menabrak tiga pasal UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Pertama, Pasal 199 yang mengatur syarat persetujuan di paripurna soal angket harus dihadiri dan disetujui setengah plus satu anggota DPR.
Kedua, Pasal 201 yang menyatakan pembentukan pansus harus memenuhi syarat keanggotaan dari seluruh fraksi. Ketiga, Pasal 79 ayat (3) yang menyatakan hak angket hanya bisa ditujukan kepada lembaga eksekutif, sementara KPK bukan lembaga eksekutif.
Selain Hak Angket KPK, DPR juga tengah membahas revisi Kitab Undag-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan pemerintah. Salah satu hal krusial adalah dimasukkannya delik korupsi di KUHP yang baru nanti. Bila delik korupsi masuk KUHP maka sifat korupsi sebagi extraordinary crime (kejahatan luar biasa) akan hilang, sehingga suap atau gratifikasi tak akan bisa lagi ditangani KPK. Inilah “jalan tikus” lainnya yang ditempuh DPR bersama pemerintah.
Strategi Sun Tzu
Sun Tzu (544-496 SM), filsuf dan ahli strategi perang asal Tiongkok, dalam bukunya “The Art of War” menulis 32 strategi memenangkan perang. Salah satunya, “Perdaya langit untuk melewati samudera”, di mana untuk memperlemah pertahanan lawan, kita harus bertindak di tempat terbuka dengan menyembunyikan maksud terselubung.
Pansus Hak Angket KPK pun menempuh cara ini. Ada hidden agenda di balik permintaan dibukanya rekaman pemeriksaan Miryam dalam kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
Lalu, “Kepung Wei untuk menyelamatkan Zhao”. Ketika lawan terlalu kuat untuk diserang, seranglah sesuatu yang berharga yang dimilikinya. Lawan tidak selalu kuat di semua hal. Pansus pun memakai strategi ini dengan meminta rekaman pemeriksaan Miryam dibuka.
Berikutnya, “Pinjam tangan orang lain untuk membunuh”. Pansus meminjam tangan Miryam untuk menyerang KPK. Miryam, Senin (19/6/2017), dipanggil Pansus untuk diperiksa, dan bila KPK tak mengizinkan maka bisa dituduh melakukan penyanderaan.
Presiden Joko Widodo pun meminjam tangan DPR untuk melemahkan KPK. Meski secara eksplisit Jokowi menyatakan KPK tak boleh dilemahkan, namun secara implisit, dengan membiarkan partai-partai politik pendukung pemerintah mengusung hak angket, Jokowi setuju KPK dilemahkan. Ironis, memang.
Lebih ironis lagi, pimpinan pansus justru diisi kader-kader parpol pendukung pemerintah. Agun Gunandjar dari Partai Golkar didampingi tiga wakil ketua, yakni Risa Mariska (PDIP), Taifuqulhadi (Partai NasDem) dan Dossy Iskandar (Hanura). Apakah Presiden Jokowi sejatinya ada di balik Pansus Hak Angket KPK itu?
Akankah kali ini DPR berhasil melumpuhkan KPK? Kita tidak tahu pasti, sebagaimana kita juga tidak tahu pasti mengapa DPR ngotot menggunakan hak angket padahal menabrak sejumlah pasal dalam UU MD3. Mungkin mereka berdalih, politik punya logikanya sendiri.
Anggota DPR adalah wakil rakyat. Lalu, mereka mewakili siapa ketika mayoritas rakyat justru tak menghendaki DPR melancarkan hak angket ke KPK? Hasil survei Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) yang dirilis, Kamis (15/6/2017), membuktikan publik menolak langkah DPR menggunakan hak angket untuk KPK.
Sebanyak 65,0% responden menilai langkah DPR mengunakan hak angket untuk KPK tidak dapat dibenarkan. Hanya 29,5% responden yang menyatakan langkah DPR menggunakan hak angket bisa dibenarkan. Sementara 5,6% responden tidak tahu atau tidak menjawab.
Responden yang tidak membenarkan langkah DPR mengajukan hak angket, ketika ditanya lebih jauh, mayoritas mengungkapkan bahwa langkah DPR melancarkan hak angket karena ingin melindungi sesama anggota DPR dari proses hukum di KPK.
Sebanyak 51,6% menyatakan hal tersebut. Sementara yang menilai hal itu bukan karena DPR ingin melindungi sesama anggota DPR hanya 4,6%, dan yang tidak tahu dan tidak menjawab 43,8% (Kompas.com, 16/6/2017). Inilah teori konspirasi, saling melindungi satu sama lain.
Ada 52 mantan anggota Komisi II DPR yang disebut menerima aliran dana korupsi e-KTP. Ketua DPR Setya Novanto dan Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa juga pernah diperksa KPK dalam kasus ini.
ICW mencatat, sedikitnya ada 86 anggota dan mantan anggota DPR terlibat korupsi. Apakah DPR telah menjadikan KPK sebagai common enemy (musuh bersama) yang harus dilenyapkan? Bisa jadi!
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.