Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Memaknai Halal Bi Halal Dalam Tradisi Keagamaan di Indonesia
Silaturrahim yang dikemas dalam acara Halal Bi Halal juga perintah Rasulullah sebagai implementasi keimanan
Editor: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM - Hari masuk kantor pertama pada Senin (3/7/17) seusai libur panjang Lebaran saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan hikmah Idul Fitri dan Halal Bi Halal di kantor pusat Universitas Terbuka Jakarta yang dihadiri sekitar delapan ratusan civitas akademika.
Istilah Halal Bi Halal ini khas budaya Indonesia dalam mengemas kegiatan keagamaan. Sebenarnya, tradisinya dan substansi telah ada sebelum kemerdekaan, yaitu tradisi sungkeman dan silaturrahim yang kemudian oleh KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa dijadikan acara bersama di keraton
Pada 1948, awal kemerdekaan di Indonesia banyak polemik dan perbedaan pandangan para tokoh bangsa. Lalu Presiden Sukarno hendak melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi nasional meminta pandangan kepada Kiai Wahhab Hasbullah.
Kiai Wahhab mengusulkan diadakan silaturrahim. Tapi istilah ini ditolak karena Presisden Sukarno ingin ada istilah baru yang lebih spesifik. Kiai Wahhab mengusulkan nama Halal Bi Halal.
Filosofinya, bahwa orang yang punya salah dan bermusuhan itu sedang melakukan yang haram kepada yang lain sehingga perlu dihalalkan dan saling menghalalkan antara anak bangsa sehingga tak ada haram dan dosa antarsesama serta kembali pada kerukunan dan kesatuan.
Memang istilah Halal Bi Halal ini tak dikenal di Arab dan tak lumrah dalam susunan bahasa Arab. Namun kalau mau membuka hadits riwayat Muslim akan menemukan makna halal adalah memaaafkan.
Rasulullah saw bersabda: man kanat 'indahu madzlimatun falyuhallilhu minha (Barang siapa yg berbuat Zhalim maka hendaknya dimaafkan/dihalalkan). Halal itu dibolehkan dengan menghalalkan kepada yang lain.
Halal Bi Halal itu prasyarat kembali pada fitrah manusia. Sebab fitrah kembali pada asal kejadian dan kesucian. Manakala masih ada haram kepada orang lain dan belum dihalalkan pastinya belum menggapai fitrahnya. Dosa kepada orang lain tak cukup hanya istighfar dan taubat kepada Allah SWT. tetapi juga perlu maaf atau halal dari orang yang disakiti atau dianiaya.
Halal Bi Halal adalah bid'ah (sesuatu yg baru) secara syi'ar tapi manshushah (perintah teks agama) secara substansi. Inilah perpaduan kreatifitas dan tuntunan agama. Sebab Halal Bi Halal memang model kreasi baru yang kandungannya adalah maaf memaafkan dan silaturrahim secara langsung.
Al Qur'an Al Karim menjelaskan orang yang memaafkan kepada yang lain adalah ciri orang yang bertakwa dan ini selaras dengan tujuan puasa adalah menggapai takwa. Memberi maaf jauh lebih afdhal dari pada minta maaf. Nah, momentum Lebaran dan Idul Fitri adalah sarana saling minta maaf dan memaafkan.
Silaturrahim yang dikemas dalam acara Halal Bi Halal juga perintah Rasulullah sebagai implementasi keimanan jika hidupnya ingin bahagia, mudah rezeki dan umur panjang.
Halal Bi Halal adalah implementasi keimanan dan wujud melakukan syariat Islam yang dikemas dengan budaya dan tradisi. Juga sarana membangun keakraban dan kesatuan melalui kegiatan saat telasan. Bahwa semua kesalahan dan khilaf dianggap telas (tiada). Mudah-mudahan dosa-dosa kita telah dan kembali pada fitrahnya.
KH. Cholil Nafis, Ph D., Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat dan Pembina Yayasan Investa Cendekia Amanah.