Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dramaturgi Setya Novanto: Happy Ending!
KPK membuka kemungkinan untuk menjerat Setnov dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masih ingatkah kita akan drama "Presentation of Self in Everyday Life" karya Erving Goffman yang diciptakan pada 1959? Terjeratnya Setya Novanto, Ketua DPR RI yang juga Ketua Umum Partai Golkar, dalam perkara korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP, tak lebih dari sekadar dramaturgi, teater atau drama yang mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia, sebagaimana dimaksud Goffman.
Ada dua pilihan bagi seorang sutradara untuk mengakhiri sebuah drama: happy ending (akhir yang bahagia) atau sad ending (akhir yang sedih). Dalam dramaturgi Setya Novanto (Setnov), apakah sang “sutradara” akan mengakhirinya dengan happy ending atau sad ending? Lalu, siapakah “sutradara” itu?
Babak awal baru dimulai, yakni penetapan Setnov sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 Juli 2017. Setnov diduga memperkaya diri sendiri atau korporasi sehingga menyebabkan kerugian negara hingga Rp2,3 triliun dari anggaran e-KTP Rp5,9 triliun.
Ia dijerat dengan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selanjutnya, KPK membuka kemungkinan untuk menjerat Setnov dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dari babak ini, penonton boleh menebak, Setnov akan mengalami sad ending, sebagaimana dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, yang dijatuhi vonis tujuh dan lima tahun penjara. Apalagi semua terdakwa korupsi yang diajukan KPK ke pengadilan, 100% divonis bersalah.
Belum pernah ada terdakwa bebas, meskipun KPK pernah kalah kasasi di Mahkamah Agung (MA), dan Senin (21/8/2017) harus membayar ganti rugi Rp100 juta kepada mantan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Syarifuddin yang pada 2012 divonis empat tahun penjara; dan dua kali “KO” (knock out) dalam praperadilan di PN Jakarta Selatan melawan Budi Gunawan (BG), calon Kepala Polri yang kini Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo (HP).
Dramaturgi e-KTP pun dibumbui teror terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan pada 11 April 2017, dan tewasnya secara misterius saksi penting e-KTP, Direktur Biomorf Lone LLC, Johannes Marliem, penyedia produk automated finger print identification system (AFIS), yang digunakan dalam proyek e-KTP, di Amerika Serikat, Jumat (11/8/2017).
Sebelum Marliem, ada dua saksi lain yang meninggal dunia, yakni anggota Komisi II DPR dari Partai Demokrat Ignatius Mulyono pada 1 Desember 2015, dan anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar Mustokoweni pada 18 Juni 2010. Semoga teror dan kematian tersebut tak terkait dengan dramaturgi skandal e-KTP.
Namun, peluang happy ending bagi Setnov juga masih terbuka lebar. Ingin mengulang sukses BG dan HP, Setnov tengah mempersiapkan permohonan praperadilan ke PN Jaksel, tempat KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap empat orang, termasuk Panitera Pengganti berinisial T, dan seorang pengacara, Senin (21/8/2017).
Bila tak lolos di praperadilan, Setnov masih punya peluang lolos di Pengadilan Tipikor Jakarta dan mencetak rekor baru sebagai terdakwa KPK yang pernah lepas.
Meski secara filosofis dikatakan sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini, namun hakim juga manusia biasa yang bisa saja tergoda suap, contohnya Syarifuddin, Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Sebab itu, Setnov bisa saja happy ending. Jalan ke arah sana nampaknya sedang “dirintis”.
Seperti diberitakan, Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) melaporkan Ketua MA Hatta Ali dan Setnov ke Komisi Yudisial (KY), Senin (21/8/2017). Laporan itu merespons pertemuan Hatta dan Setnov. Koordinator GMPG Ahmad Doli Kurnia menuturkan, pertemuan keduanya berlangsung pada 22 Juli 2017 di sela sidang terbuka disertasi politisi Golkar Adies Kadir di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya (Kompas, Selasa 22 Agustus 2017).
Saat itu Setnov dan Hatta menjadi penguji sidang disertasi tersebut. Ahmad Doli mencurigai pertemuan itu merupakan bagian dari langkah Setnov untuk lolos di praperadilan. Sebab, kata Doli, selain hilangnya nama Setnov dari putusan terpidana kasus e-KTP, Irman dan Sugiharto, belum ada preseden seorang di luar kampus diundang sebagai penguji non-akademik. Bahkan, sepengetahuan Doli, Setnov hanya bergelar sarjana akuntansi. Seharusnya sidang disertasi diuji oleh seorang bergelar doktor.
Doli juga mengatakan, ada taruhan di DPR jika Setnov bakal lolos dalam sidang praperadilan.
Di pihak lain, KPK mengajukan banding atas vonis Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Irman dan Sugiharto, karena dalam amar putusannya, nama Setnov menghilang. Dalam surat dakwaan dan tuntutan jaksa KPK disebutkan secara rinci nama-nama penerima uang proyek e-KTP yang sebagian besar berasal dari anggota DPR, termasuk Setnov.
Namun dalam pertimbangan putusan, majelis hakim hanya menyebutkan tiga nama anggota DPR yang terbukti menerima uang proyek e-KTP, yakni Ade Komaruddin, Markus Nari, dan Miryam S. Haryani. Dua nama terakhir sudah berstatus tersangka.
Tidak itu saja! Seperti diberitakan, pengacara Elza Syarif mengubah sebagian keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait kasus keterangan palsu dengan terdakwa Miryam S. Haryani. Salah satu poin yang diubah adalah soal tekanan dari Setnov dan beberapa anggota DPR lain kepada Miryam.
Dalam BAP, Elza menyebutkan sebelum persidangan e-KTP Setnov pernah mengumpulkan beberapa anggota DPR termasuk Miryam untuk dikonfirmasi soal kasus dugaan korupsi e-KTP. Miryam pun mengeluhkan pertemuan itu pada Elza karena merasa ditekan dan dicap sebagai pengkhianat.
Namun saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/8/2017), Elza merevisi keterangan itu. Ia mengaku pernah ada cerita pengumpulan oleh Setnov, namun kini ia mengaku tidak ingat.
Hilangnya nama Setnov, revisi keterangan Elza Syarif dan perjumpaan Hatta Ali-Setnov bisa meretas jalan ke happy ending. Penonton pun bisa menebak ke arah sana. Apalagi happy ending bagi terdakwa korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta juga pernah terjadi, yakni pada Selasa (27/12/2016) ketika terdakwa korupsi dana hibah Kadin Jawa Timur periode 2011-2014 yang diajukan Kejaksaan Tinggi Jatim, La Nyalla Mattalitti, yang juga keponakan Ketua MA Hatta Ali, divonis bebas. Praperadilan di PN Jaksel membebaskan tersangka juga bukan lakon baru.
Lalu, siapa sutradara dan asisten sutradaranya? Untuk mengetahui, kita tunggu dramaturgi Setnov “diputar” dulu di pengadilan.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.