Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Personalisasi Institusi DPR
Novanto adalah anggota DPR, dan sebagai anggota DPR, ia berkedudukan sama dengan 559 anggota DPR lainnya, tak kurang dan tak lebih.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah sebuah institusi.
Tapi di tangan Setya Novanto, lembaga ini bisa dipersonalisasi (dibuat menjadi bersifat personal), tak lagi institusional.
Betapa tidak? Saat dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi perkara korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) bagi tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, Senin (6/11/2017), Ketua DPR itu tidak hadir dengan “menyandera” Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR Damayanti melalui perintah melayangkan selembar surat.
Surat pun kemudian dibuat.
Melalui surat tertanggal 6 November 2017 yang ditandatangani Damayanti beberapa menit sebelum dikirim ke KPK, Novanto berdalih untuk memeriksa dirinya KPK harus seizin Presiden atau Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015 yang menyatakan setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu; dan juga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD.
Damayanti mengklaim, perintah menerbitkan surat yang dilayangkan Novanto melalui Ketua Badan Keahlian DPR Johnson Rajagukguk adalah teknis biasa dalam proses administrasi.
Ia meyakini tim Biro Pimpinan DPR sudah memiliki kajian hukum dalam membuat surat tersebut. Ia membantah jika keputusannya itu dianggap turut menghalangi proses penegakan hukum di KPK.
Memang, Sekretariat Jenderal DPR merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedudukan sebagai kesekretariatan lembaga. Dalam Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2015 tentang Setjen dan Badan Keahlian DPR dinyatakan bahwa Setjen dan BK adalah aparatur pemerintah yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR.
Dari titik ini Damayanti selanjutnya bisa lepas tangan, meski masih patut dipertanyakan, apakah permintaan Novanto itu bersifat kelembagaan, bukan personal, mengingat kedudukan Setjen sebagai kesekretariatan lembaga, bukan sekretaris pribadi Novanto?
Damayanti bertambah “merdeka” ketika Fredrich Yunadi, kuasa hukum Novanto, mengatakan, pengiriman surat pemberitahuan ketidakhadiran yang berlogokan DPR ke KPK atas inisiatif kliennya (Kompas.com, 7 November 2017).
Bukan kali ini saja Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu mempersonalisasi institusi DPR. Pada 22 September 2017, saat hendak diperiksa KPK sebagai tersangka korupsi e-KTP, DPR juga berkirim surat ke KPK.
Surat yang ditandatangani Wakil Ketua DPR Fadli Zon itu berisi permintaan agar KPK menunda proses penyidikan terhadap Setya Novanto karena Ketua DPR itu sedang mengajukan gugatan praperadilan. Pimpinan DPR menilai praperadilan adalah hal yang lumrah dalam proses penegakan hukum.
Pimpinan DPR meminta KPK mengedepankan asas praduga tak bersalah dan menghormati proses hukum praperadilan yang sedang berlangsung. Pada 29 Oktober 2017, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar mengabulkan praperadilan Novanto. Status tersangka yang disandang Novanto sejak 17 Juli 2017 pun gugur.