Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Polisi Jangan Melakukan Implisit Bias Dalam Perang Melawan Terorisme
Perang melawan teroris tidak semata ditentukan oleh seberapa banyak pelaku yang diringkus.Tak terpisahkan, bahkan lebih mendasar bagi kepolisian, pera
Ditulis oleh: Reza Indragiri Amril, psikolog Forensik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perang melawan teroris tidak semata ditentukan oleh seberapa banyak pelaku yang diringkus.
Tak terpisahkan, bahkan lebih mendasar bagi kepolisian, perang melawan teroris adalah pertarungan merebut simpati dan dukungan masyrakat.
Kasus pembakaran Markas Dharmasraya menjadi pertanda bahwa di medan pertarungan kehumasan itu Polri perlu lebih menguatkan diri lagi.
Polisi memang berhasil menamatkan riwayat pelaku pembakaran, dan itu patut dipandang sebagai kesungguhan Polri mengamankan masyarakat.
Namun sangat menyedihkan, Kapolres Dharmasraya justru menyebut, seruan membesarkan nama Tuhan sebagai salah satu indikator teroris. Demikian perkataan kapolres pada saat wawancara live di salah satu televisi berita.
Perkataan Kapolres bersumber dari implisit bias, yakni asosiasi otomatis yang terbangun antara kalangan tertentu dengan stereotip yang dimiliki kalangan tersebut.
Karena kadung diucapkan secara sadar dan terbuka, implisit bias 'naik kelas' menjadi eksplisit bias.
Implisit atau pun explisit bias, faktanya, juga terjadi pada personel polisi di negara-negara lain.
Misalnya, polisi lebih curiga thdp warga kulit hitam dan latin.
Implisit bias jelas-jelas punya pengaruh sangat nyata terhadap relasi yang polisi bangun dengan warga.
Dalam rangka memastikan terealisasinya Polri sebagai organisasi yang profesional, modern, dan palingg relevan terpercaya, Polri bahkan publik punya kebutuhan untuk menangani eksplisit bias Kapolres Dharmasraya.
Baik secara organisasi maupun hukum.
Intinya, Polri perlu mengunci perkataan bias tersebut sebagai kekeliruan individu, bukan organisasi.
Jangan sampai kian tak terbendung anggapan khalayak luas bahwa ada penistaan terhadap kelompok tertentu dan ada standar ganda alias diskriminasi dlm penegakan hukum di Indonesia.
Ke titik hulu, spesifik di ranah diklat, personel polisi perlu memahami kompleksitas sekaligus kerapuhan psikologis mereka. Seberapa jauh kemampuan personel polisi mengatasi kerapuhan termasuk potensi bias, akan menentukan mutu kerja.