Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
71 Tahun dan Modernisasi HMI di Era Digital
Sejak kehadirannya pada 5 Februari 1947 hingga saat ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah membuktikan dedikasinya kepada bangsa
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Respiratori Saddam Al Jihad
Sejak kehadirannya pada 5 Februari 1947 hingga saat ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah membuktikan dedikasinya kepada bangsa, negara dan seluruh rakyat Indonesia.
Ratusan bahkan ribuan kader yang dicetak HMI sudah mewakafkan diri mereka untuk ikut membangun Indonesia dari berbagai bidang yakni pemerintahan, politik, ekonomi dan lain-lainnya. Sumber Daya Manusia (SDM) HMI selalu siap mengabdikan diri untuk NKRI.
Seiring dengan perkembangan teknologi-informasi berbasis digital, HMI sebagai organisasi yang lokusnya membangun kader ummat dan bangsa sudah seharusnya menyesuaikan gerakannya dengan kadar zaman (digital), sehingga produksi kader-kader terbaik tetap terlaksana sebagaimana yang menjadi misi HMI yakni Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan Bertanggung Jawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang Diridhoi Allah SWT.
Kini, usia HMI sudah 71 tahun, sudah hampir senja, tapi HMI harus tetap menunjukan dirinya yang produktif sebagai organisasi terbesar dan terbaik untuk Indonesia, meskipun zaman terus berubah wajah.
Sayyidina Ali bin Abu Thalib berpesan; “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Inilah hikmah klasik yang masih berlaku hingga sekarang, namun jarang kita renungi, apalagi kita terapkan.
Sudah saatnya HMI mereduksi nilai-nilai gerakannya dengan perkembagan zaman yang ada, dimana era digital (internetnisasi ) telah mempengaruhi segala aspek kehidupan saat ini, sehingga setuju atau tidak, HMI tetap mengikuti kemauan zaman untuk mengawal generasi muda Indonesia sebagai upaya mencegah apa disebut kesenjangan generasi atau generation gap.
Bahwa setiap zaman atau generasi memiliki masalahnya sendiri. Sebagai contoh : seorang ayah tidak dapat memaksakan pola pendidikan orang tuanya untuk diterapkan kepada anaknya, karena zamannya telah berbeda.
Begitu pun dengan pendidikan organisasi, termasuk di tubuh Himpunan mahasiswa Islam (HMI). Apa yang diajarkan pada latihan kader pada generasi Lafran Pane tentu berbeda dengan konteks generasi Cak Nur. Apa yang diajarkan pada generasi Cak Nur, berbeda dengan tantangan zaman generasi Anies Baswedan.
Begitu seterusnya hingga sampailah pada generasi kita. Maka, penting kiranya untuk memahami permasalahan setiap generasi, utamanya generasi kita sendiri. Karena mustahil dapat menyelesaikan problematika generasi, jika konteks masalahnya saja kita gagal untuk memahaminya.
Peter H Diamandis (2015) mengemukan tentang 6D perkembangan eksponensial masyarakat abad 21. Yang pertama adalah digitize, suatu upaya mendigitalisasi segala tatanan kehidupan, termasuk tatanan bisnis. Kemudian deceptive, yaitu fase di mana terjadi penyangkalan di mana-mana terhadap tatanan kehidupan yang baru ini.
Misalnya demonstrasi taksi konvensional terhadap taksi online. Sangkalan demi sangkalan akan mengantarkan kita pada tahap yang ketiga, distruptive. Teknologi mempermudah inovasi dari cara yang baru sembari mengganti yang lama.
Turbelensi pun memuncak, hingga terjadilah tiga tahap selanjutnya. Yakni : Demonitisasi, di mana uang dianggap hanya ilusi dari ekonomi memiliki. Chris Anderson (2010) menyebutnya sebagai Society of Free, masyarakat yang gandrung terhadap yang gratis.
Dan bisnis gratis itu justru menjadi bisnis yang paling menguntungkan, misalnya Google, Facebook, Instagram, atau Whatshap. Kemudian terjadilah dematerialisasi, semua barang dan jasa yang serba fisik berganti menjadi pola yang terkoneksi secara digital.