Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ketika Restu Langit Mengiringi Langkah 15 Pelukis Alumni UNJ
Berangkat dari tema ini saya berharap pameran lukisan ini dapat menjadi oasis di tengah kering-kerontangnya kasih sayang sesama
Editor: Hendra Gunawan
Tulisan Tribunner Karyudi Sutajah Putra
JAKARTA - Entah apa yang berkecamuk dalam benak mereka, ketika di senja itu, Rabu (21/2/2018), tiba-tiba langit tersibak, awan tak lagi membayang, dan hujan rintik yang mengguyur Kota Jakarta semenjak siang pun berhenti. Mungkin saya syukur dan bahagia, karena langit seakan memberi “restu” kepada 15 penghuni bumi, yang kebetulan para alumni IKIP Jakarta/Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menggelar pameran lukisan di Balai Budaya Jakarta (BBJ), Menteng, Jakarta Pusat. Pameran ini bertajuk, “[Re]posisi: Soul, Power, Synergy.”
“Mungkin ini restu langit yang mengiringi langkah para amumni UNJ menggelar pameran ini, sehingga kita pun harus berbahagia dan bersyukur kepada Allah SWT,” ungkap Syahnagra Ismail, pelukis senior yang juga Wakil Ketua Badan Pengelola BBJ, saat menyampaikan kata sambutan.
Dengan adanya “restu” langit tersebut, pengunjung yang menghadiri pembukaan pameran pun membeludak, hingga ratusan orang. Pameran dibuka oleh Ketua Setara Institute Hendardi yang ditandai dengan penandatanganan prasasti serta penyerahan lukisan “Sayap-sayap Patah” karya Kembang Sepatu, pelukis kelahiran Pemalang 30 Oktober 1972, dan kartun bersosok Hendardi karya Jan Praba yang juga Presiden Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti).
Pameran diikuti oleh 15 pelukis. Selain Kembang Sepatu (angkatan 1992) dan Jan Praba (1985), mereka adalah Ajul Jiung (1996), Andi Suandi (1987), Casjiwanto (1988), Edo Abdullah (1980), Enok Tuti Asri (1988), Ireng Halimun (1984), Kin Kin (1994), Sahuri (1989), Sri Robustina (1979), Syafrudin (1989), Tri Sabariman (1994), Yusuf Dwiyono (1985) dan Zainal Sutanto (1979). Setiap pelukis menampilkan 2-4 karyanya.
“[Re]posisi menyadarkan kita untuk menempatkan diri sebagai agen perubahan. Perjalanan jiwa manusia menuju jiwa mutmainah pada dasarnya merupakan perjalanan mendaki,” kata pelukis Andi Suandi yang juga ketua panita pameran.
“Dari pameran inilah akan terjadi sambung pikir dan tatap mata yang akan melahirkan pencatatan nama-nama para alumni menjadi database, kemungkinan membentuk/memperkuat organisasi dan kemungkinan mendirikan yayasan bagi para alumni,” timpal Ireng Halimun, koordinator pameran, menjelaskan latar belakang pameran tersebut.
Oasis Kemanusiaan
“[Re]posisi, secara harfiah berarti menempatkan kembali pada posisi semula. Berangkat dari tema ini saya berharap pameran lukisan ini dapat menjadi oasis di tengah kering-kerontangnya kasih sayang antar-sesama manusia, sehingga konflik bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) tak akan lagi meletup di mana-mana, apalagi menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu/Pilpres 2019. Melalui karya-karya yang dipamerkan, kita bisa bercermin dan kemudian mereposisi diri bahwa ternyata kita masih bernama manusia, sehingga selayaknya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah perbedaan etnis dan agama. Seni adalah oasis kemanusiaan,” kata Hendardi dalam sambutannya.
Usai pembukaan, Hendardi bersama para undangan pun “memelototi” satu per satu karya yang dipajang, didampingi para pelukis yang menjelaskan makna karya masing-masing.
“Tenggelamya Dewi Keadilan” (2009), karya Kembang Sepatu, misalnya, menyindir peradilan di Indonesia yang dinilai korup. Hakim yang mestinya berbuat adil, karena matanya sudah tertutup uang maka mereka tidak mampu memberikan keputusan yang benar dan adil. “Ini akan menjadi bencana bagi sistem peradilan kita. Bau bangkainya mengundang burung-burung gagak,” kata Kembang Sepatu.
Pun, “Teror of Justice” (2018), yang menggambarkan hakim sebagai manusia setengah malaikat/dewa, setengahnya lagi adalah manusia yang masih memiliki rasa takut, sehingga tak berdaya ketika menghadapi teror. “Dia hanya mampu memegang kitabnya, tapi tak mampu mengimplementasikannya,” papar pelukis yang hobi touring ini.
“Save the Forest” (2017), karya Jan Praba, mengamanatkan pentingnya menyelamatkan hutan dari penebangan liar (illegal logging) maupun kebakaran yang setiap tahun mengancam, sehingga burung-burung pun bisa aman dan nyaman beterbangan.
“Tak Usah Datang” (2018) karya Ireng Halimun menyindir keberadaan patung “Selamat Datang” di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, di mana kini kondisi Kota Jakarta semrawut, masih belum bebas dari banjir, dan langitnya pun tak biru jernih, sehingga para calon pendatang ia sarankan tak usah menginjakkan kaki di Ibu Kota.
Namun, optimisme tetap menyemburat dari pameran ini, di mana “restu” langit dan Tuhan diyakini akan senantiasa hadir, antara lain tercermin dari lukisan “Bunga-bunga Berzikir” dan “Tauhid di Musim Gugur” karya Sri Robustina (74), pendiri Ikatan Wanita Pelukis Indonesia.