Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ortodoksi Revisi UU MD3
Sekarang, sesama warga negara ingin mengontrol dan menguasai kehidupan rakyat baik secara ekonomi, politik dan hukum.
Editor: Hasanudin Aco
![Ortodoksi Revisi UU MD3](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/20141029_224002_aksi-batalkan-pasal-254-uu-md3.jpg)
Oleh: Syamsuddin Radjab
Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makassar;
Direktur Eksekutif Jenggala Center
TRIBUNNEWS.COM - Pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) pada Senin (12/2/2018) merupakan produk perundang-undangan kolot dan kuno yang menjungkirbalikkan fase perkembangan demokrasi di Indonesia bahkan seolah kita dalam kehidupan masa kolonial penjajahan.
Kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran yang dijamin konstitusi dan UU No. 9 Tahun 1998 dalam ketentuan Pasal 122 huruf k revisi UU MD3 dapat dipidana hanya dengan dalih subyektif merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Selain itu, Pasal 245 dengan alasan hak imunitas anggota DPR telah berupaya menghambat proses penegakan hukum pidana dengan menambahkan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” yang substansinya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 pada 22 September 2015.
Yang paling kasar dalam revisi UU MD3 yakni bagi-bagi kursi kekuasaan pimpinan MPR, DPR dan DPD sebagaimana ketentuan Pasal 15, Pasal 84, dan Pasal 260 yang akan membebani keuangan negara dengan masa kerja kurang dari 1, 5 tahun lagi sehingga tidak efektif dan efisien dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Baca: DPR Sepakat dengan Presiden Tidak Keluarkan Perppu UU MD3
Alasan penambahan kursi pimpinan adalah memberi penghormatan kepada PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu 2014, padahal dalam revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 dalam konsiderannya dikatakan bahwa UU tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat yang mengubah pimpinan DPR dari sistem hasil pemenang pemilu ke sistem paket yang dipilih dalam sidang paripurna.
Perluasan kewenangan dan tugas DPD pun membuat sistem ketatanegaraan akan rancu karena DPD diberi kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan Perda dan Perda yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dan DPRD sesuai ketentuan Pasal 249 ayat (1) huruf j revisi UU MD3.
Sejatinya, DPD dibentuk sebagai perwakilan daerah provinsi agar aspirasinya diperjuangkan di tingkat nasional baik dalam pembentukan UU yang terkait daerah maupun pelaksanaan pemerintahan daerah; otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah, pembentukan daerah dan lain-lain. Bukan mengurusi Perda karena hal tersebut kewenangan Pemda dan DPRD dan bertentangan dengan UU Pemda.
Menuju Neokolonialisme
Era kolonial telah lama berlalu tetapi watak dan karakternya masih diwarisi oleh pembentuk undang-undang baik DPR maupun Pemerintah. Dulu, negara lain menguasai wilayah, politik dan hukum di negara kita. Sekarang, sesama warga negara ingin mengontrol dan menguasai kehidupan rakyat baik secara ekonomi, politik dan hukum.
Melalui kewenangan politik, pembentuk undang-undang lebih mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan rakyat bahkan hak-hak konstitusional dirampas dan ingin dipenjarakan. Partisipasi dan akuntabilitas publik, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM telah diabaikan oleh pembentuk UU.
Tidak saja dalam ketentuan revisi UU MD3 diatas, watak neokolonialisme juga tercermin dalam RKUHP dengan menghidupkan kembali pasal karet (hatzai artikelen) penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang dimuat dalam Pasal 238 dan Pasal 239 RKUHP.
Pasal ini telah dicabut oleh MK melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pada 6 Desember 2006 dari ketentuan Pasal 134, 136 b dan Pasal 137 KUHP. Asumsi yang dibangun dihidupkannya kedua pasal tersebut karena menganggap Presiden merupakan simbol negara yang harus dihormati.
Asumsi pembentuk UU tersebut sangat tidak berdasar karena Presiden bukan simbol negara. Sesuai ketentuan Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu kebangsaan yang dimaksud simbol negara adalah Bendera Merah Putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan Lagu Indonesia raya sebagai simbol identitas wujud eksistensi Indoensia. Demikian halnya diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 36B UUDN RI 1945.
Selama ini, para pejabat pemerintahan, pejabat negara bahkan pimpinan Ormas telah membangun persepsi menyesatkan masyarakat dengan menyebut bahwa Presiden adalah simbol negara, dari Ketua MK Arief Hidayat, Pimpinan DPR, Menteri Hukum dan HAM, Panglima TNI, Ketua BPHN, Petinggi Partai Politik dan lain-lain.
Cukup dua alasan kenapa Presiden bukan simbol negara yakni Presiden adalah jabatan politik dan Presiden dapat diberhentikan (impeachment). Taka ada jabatan politik dan yang dapat dimakzulkan dinegara manapun dijadikan simbol suatu negara.
Hal berbeda dengan Thailand yang dicontohkan pendukung Presiden simbol negara, Thailand atau Malaysia bentuk negaranya monarkhi konstitusional yang berbeda dengan sistem presidensial yang kita anut sehingga tidak dapat diperbandingkan.
Pembentukan UU yang berwatak neokolonialisme oleh Nonet-Selznick (1978) menyebutnya sebagai produk UU represif atau ortodoks yang mengutamakan tafsir tunggal dan kehendak penguasa serta mengandalkan alat-alat kekerasan negara (militer/polisi) sebagai pengaman UU represif.
Dilema
Dengan disahkannya revisi UU MD3 yang membahayakan keberlangsungan demokrasi, pelbagai lapisan masyarakat sipil berencana membawa UU tersebut ke MK untuk di uji materi (judicial review) kembali karena dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Persoalannya, masyarakat menghadapi pilihan sulit antara membawa revisi UU MD3 yang jelas bertentangan UUDN RI 1945 bahkan sudah diputus MK tetapi dilain sisi, ketua MK Arief Hidayat, sedang dilanda krisis etika dan kepercayaan publik karena sifat imparsialitas dalam keputusannya.
Seperti diketahui, Arief sudah dua kali divonis bersalah oleh Dewan Etik MK atas pelanggaran etika yang dilakukannya yakni soal katabelece yang dikirim ke mantan Jampidsus Kejagung untuk memuluskan karir kerabatnya bernama Muhammad Zainur Rochman yang bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek pada 16 April 2015 dan kasus lobi politik dengan bertemu sejumlah pimpinan komisi III DPR di hotel Ayana Midplaza, Jakarta.
Pertemuan tersebut diduga untuk kepentingan Arief agar dipilih kembali sebagai hakim MK mewakili DPR periode 2018-2023. Dan benar saja, Arief akhirnya dipilih secara aklamasi dan tunggal melalui uji kelayakan dan kepatutan yang tak banyak diketahui publik.
Selain lobi politik, pertemuan itu juga diduga untuk memuluskan kepentingan pansus hak angket DPR yang dilakukan oleh karyawan KPK. Hal ini juga terbukti dengan putusan MK yang menjadikan KPK sebagai objek hak angket.
Saat ini, Arief kembali dilaporkan ke Dewan Etik MK oleh seorang pegawai MK bernama Abdul Ghoffar pada Rabu (31/1/2018) karena diduga telah membuat pernyataan ke media massa yang tidak benar terhadap diri pelapor setelah menulis sebuah opini di harian kompas dengan judul “Ketua Tanpa Marwah” pada Kamis, 25 Januari 2018.
Dari rentetan pelanggaran etika yang dilakukan oleh Arief Hidayat dan desakan 54 Guru Besar agar mengundurkan diri sebagai hakim MK dan pelbagai desakan kelompok masyarakat dan Ormas seperti Muhammadiyah membuat MK semakin mengalami ketidakpercayaan publik akan keputusannya karena ulah negarawan tanpa etika yang dilakukan oleh sang ketua MK.
Akibatnya, kelompok masyarakat yang ingin mengajukan gugatan ke MK urung dilaksanakan karena dikhawatirkan putusan MK terkait dengan UU MD3 kembali digagalkan karena dipimpin oleh ketua MK hasil lobi politik dan pelanggar etika.
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)