Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Tolak Capres Tunggal!

Kalau calon presidennya hanya satu, lalu apa bedanya dengan rezim Orde Baru? Ini era reformasi, Bung!

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Tolak Capres Tunggal!
Tribunnews.com
Sopyan Iskandar. 

Oleh: Sopyan Iskandar

TRIBUNNEWS.COM - Kalau calon presidennya hanya satu, lalu apa bedanya dengan rezim Orde Baru? Ini era reformasi, Bung!

Salah satu tuntutan gerakan reformasi ialah demokratisasi, yang kemudian diwujudkan melalui amandemen UUD 1945 sehinga presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh MPR lagi.

Kini, Presiden Joko Widodo dan parpol-parpol pendukungnya terindikasi mengondisikan agar Pilpres 2019 diikuti oleh hanya sepasang capres-cawapres. Indikatornya ialah disepakatinya presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional, yang kemudian tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Ironisnya, Mahkamah Konstitusi (MK) seakan juga ikut terkondisikan, dengan keputusannya menolak judicial review (uji materi) Pasal 222 UU Pemilu, 11 Januari lalu.

Pasal ini memperkecil potensi persaingan bagi petahana dalam pilpres, sehingga menguntungkan Jokowi. PT dirancang untuk mengatur agar petahana menghadapi jumlah lawan sedikit mungkin. Pun, memangkas hak setiap warga negara untuk diajukan sebagai capres dan cawapres.

Padahal, UUD 1945 menjamin hak seluruh warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebut, seluruh warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan penerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa kecuali.

Berita Rekomendasi

Pasal 28D ayat (3) juga menyebut, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pasca-putusan MK yang tak adil ini, parpol-parpol mau tak mau harus berkoalisi untuk mengusung pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2019. Tidak ada parpol yang bisa sendirian mengusung pasangan calon.

Parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan calon. Karena pemilu legislatif dan Pilpres 2019 digelar bersamaan, maka PT yang digunakan adalah hasil Pemilu 2014.

Peta Koalisi

Berdasarkan hasil Pemilu 2014, yang meloloskan 10 dari 12 parpol peserta Pemilu 2014 karena berhasil melampaui parliamentary threshold 3,5%, tak ada satu pun parpol yang meraih 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional.

Mau tak mau parpol-parpol harus berkoalisi. Peta koalisi pun bisa dilihat dari komposisi parpol pendukung pemerintah versus oposisi.

Parpol-parpol yang memiliki kursi di kabinet telah menyatakan dukungannya kepada Jokowi untuk maju kembali pada Pilpres 2019, yakni PDIP (pemilik 109/19,4% kursi), Partai Golkar (91/16,2%), Partai Nasdem (36/6,4%), Partai Persatuan Pembangunan (PPP/39/7%), dan Partai Hanura (16/2,9%), minus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB/47/8,4%) dan Partai Amanat Nasional (PAN/48/8,6%) yang masih mengambang.

Parpol oposisi, yakni Partai Gerindra (73/13%) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS/40/7,1%) masih keukeuh mengusung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto seabagai capres pada Pilpres 2019.

Bila kursi Gerindra dan PKS digabung maka ada 20,1%, sudah cukup untuk mengusung pasangan calon, dan kekuatan oposisi masih bisa bertambah bila Partai Demokrat (61/10,9%) yang selama ini memosisikan diri sebagai penyeimbang ikut bergabung. Belum lagi jika PAN akhirnya memutuskan menyeberang dari pemerintah menjadi oposisi.

Jika koalisi pemerintah versus oposisi tersebut solid, kemungkinan hanya akan muncul dua pasang calon pada 2019 seperti pada Pilpres 2014.

Namun, jika koalisi pecah, bisa muncul lebih banyak capres, apalagi PKB sudah “mengancam” akan membuat poros baru bila ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, tak dijadikan cawapresnya Jokowi. PKB bisa jadi berkoalisi dengan PAN dan Demokrat, bila tidak mau bergabung dengan Gerindra dan PKS.

Presiden PKS Sohibul Iman dan Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mengakui pemerintah melobi parpol masing-masing untuk bergabung mengusung Jokowi sebagai capres di 2019.

Ada pula tawaran agar Prabowo menjadi cawapresnya Jokowi. Ini adalah langkah-langkah politik untuk mengondisikan Pilpres 2019 diikuti hanya oleh sepasang calon. Jelas, itu tidak sehat bagi demokrasi. Masak, dari 270 juta penduduk Indonesia cuma satu yang bisa menjadi capres?

Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Eriko Sotarduga mengakui Jokowi bisa menjadi capres tunggal dan melawan kotak kosong dalam Pilpres 2019. Ada tiga faktor yang menurutnya bisa membuat Jokowi capres tunggal.

Pertama, terkait elektabilitas. Elektabilitas Jokowi sebagai petahana jauh lebih tinggi dari calon-calon lainnya, termasuk Prabowo yang menjadi lawan terkuatnya.

Kedua, terkait PT, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional pada Pemilu 2014 untuk bisa mengusung pasangan calon. Saat ini sudah lima parpol menyatakan dukungan ke Jokowi.

Ketiga, keinginan setiap parpol untuk mengincar kemenangan di Pilpres 2019. Kalau mencalonkan yang lain, mereka tak mau ambil risiko kalah.

Demi sehatnya demokrasi, mestinya parpol-parpol pendukung pemerintah justru mengondisikan agar ada pasangan calon yang akan melawan Jokowi. Apalagi, bila nanti ternyata petahana kalah melawan kotak kosong, itu akan mempermalukannya.

Tak boleh ada oligarki atau sikap jumawah. Simak saja hasil survei Kedai Kopi di mana survei lembaga ini berbeda dengan survei lembaga lain. Jika survei lembaga lain menyimulasikan Jokowi dengan para tokoh penantangnya, survei Kedai Kopi justru menyimulasikan "Jokowi versus selain Jokowi".

Survei dilakukan pada periode September 2017. Hasilnya, responden yang memilih selain Jokowi lebih banyak, yakni 48,9%, sedangkan yang memilih Jokowi 44,9%. Responden sisanya tidak memberikan jawaban. Jokowi, diadu dengan siapa pun, akan menang. Tapi begitu ditanya, Jokowi atau selain Jokowi, hasilnya Jokowi kalah.

Berdasarkan hasil survei itu, bisa jadi justru pemilih yang kesal karena tidak mempunyai pilihan tokoh lain justru akan memilih kotak kosong. Alhasil, Jokowi belum tentu menang meski jadi calon tunggal melawan kotak kosong.

Demi sehatnya demokrasi dan menjaga marwah petahana Presiden Jokowi dari kemugkinan kalah melawan kotak kosong, maka capres tunggal harus ditolak.

Sopyan Iskandar: Ketua DPP LPRI (Lembaga Pengawas Reformasi Indonesia).

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas