Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kredibilitas Partai dan Wabah Korupsi
Kritik bagi pemimpin “sok kuasa” seringkali dimaknai sebagai perlawanan, padahal, jika sehat berpikir, justru kader kritislah jauh.
Editor: Malvyandie Haryadi
Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makassar
Direktur Eksekutif Jenggala Center
TRIBUNNERS - Partai kredibel bukan soal gampang tetapi juga tidak susah, sejauh pimpinan partai dan seluruh jajarannya bisa bersepakat satunya kata dengan perbuatan diiringi upaya kuat mewujudkan janji-janji politknya kepada rakyat dan memenuhinya.
![Syamsuddin Radjab](http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/radjab_20180308_222129.jpg)
Dalam perspektif budaya, orang Bugis-Makassar menyebutnya dalam konsep “taro ada’, taro gau” (satunya kata dengan perbuatan), atau orang Jawa menyindirnya dengan bahasa, “Kakehan gludhug kurang udan” (banyak bicara tidak ada kenyataan/bukti) dan pelbagai ungkapan local wisdom daerah dan budaya lainnya yang bermakna sama yang menandakan betapa nilai-nilai budaya kita mengajarkan seorang pemimpin ucapannya dapat dipercaya dan perbuatannya dapat dibuktikan.
Neumann (1963) menegaskan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang berebut dukungan rakyat melalui persaingan (pemilu) dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda.
Baca: Gang Sempit di Sukmajaya Depok Dipenuhi Lukisan
Untuk mengatur persaingan itu, di Indonesia kemudian diatur dalam norma hukum perundangan, UU No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
Sebagai wadah perjuangan yang berkesinambungan, maka kaderisasi menjadi jantung keberlanjutan Partai Politik dengan tetap mendidik, membina, mengkader guna menghasilkan calon pemimpin yang memiliki kemampuan dibidang politik untuk mengelola kekuasaan pemerintahan dikemudian hari.
Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi partai kita belakangan ini, partai lebih banyak dipimpin golongan tua (gerontokrasi) dan mengabaikan kaderisasi internal.
Bahkan beberapa partai dijabat oleh orang yang dulu sebagai dewan pimbina lalu turun tahta menjadi ketua umum karena ingin menguasai dan mengendalikannya secara langsung.
Partai yang tidak memberi ruang bagi generasi muda, yang memiliki sikap kepemimpinan dan kapasitas, berintegritas dan memiliki visi jauh kedepan akan ditinggal tua dan lambat laun akan layu tak dihiraukan para pemilih, apalagi pemilih dikalangan kaum muda yang jumlahnya sekitar 40an juta.
Konservatisme Partai
Beberapa partai memiliki kebiasaan memecat kadernya yang kritis, muda, dan berdedikasi tinggi hanya karena melakukan kritik terhadap partainya, apalagi dipimpin oleh orang yang merasa paling berkuasa dan kalangan orang tua itu.
Kritik bagi pemimpin “sok kuasa” seringkali dimaknai sebagai perlawanan, padahal, jika sehat berpikir, justru kader kritislah jauh lebih siap menghadapi tantangan berat dibanding mereka yang menghamba jabatan dan menjual harga diri.
Pasca kejatuhan Soeharto yang otoriter dan lahir era reformasi puluhan bahkan ratusan partai bermunculan. Tapi sayangnya, partai baru pun yang lahir di era reformasi berwatak sama dengan Orde Baru yakni sentralistik, otoriter dan antikritik oleh kadernya. Orde Baru memang sudah terkubur tapi watak dan perilakunya masih diwarisi oleh para pemimpin partai hingga saat ini.
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)