Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mencari Jalan Tengah Simalakama Partai Hanura
Menghadapi buah simalakama. Dimakan bapak mati tidak dimakan ibu mati. Itulah yang terjadi di Hanura.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Totok Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM - Menghadapi buah simalakama. Dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Itulah yang terjadi dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Lolos dari lubang jarum verifikasi faktual Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga menjadi peserta Pemilu 2019, ternyata tak serta-merta konflik internal antara kubu Ketua Umum Oesman Sapta Odang (OSO) dan kubu Ketua Umum Daryatmo/Sekjen Sarifuddin Sudding selesai.
Kubu mana pun yang kelak menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), juga tak otomatis menjadikan para kader, baik elite maupun grass roots (akar rumput), bersatu kembali. Hanura pun terancam tak lolos parliamentary thershold (PT) 4%.
Bila mau lolos PT 4% di Pemilu 2019, sehingga tidak terlempar dari Senayan, mau tak mau Hanura tak boleh memakan buah simalakama itu, tetapi harus mencari “jalan tengah” di antara kubu OSO dan kubu Daryatmo/Sudding, dan “jalan tengah” tersebut adalah Moeldoko, Wakil Ketua Dewan Pembina Hanura. Moeldoko yang kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) bisa menjadi solusi bagi konflik internal Hanura.
Sejujurnya, Ketua Dewan Pembina Hanura Bapak Wiranto juga bisa menjadi solusi. Tapi kalau bicara the right man on the right place (orang yang tepat pada tempat yang tepat), Moeldoko-lah sosok yang paling tepat saat ini. Mengapa?
Pertama, sebagai KSP, Pak Moeldoko tak sesibuk Pak Wiranto yang menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
Pak Moeldoko juga relatif masih baru di Hanura, sehingga darahnya pun masih segar. Pak Wiranto mantan Panglima ABRI, Pak Moeldoko mantan Panglima TNI, sehingga pengalaman keduanya pun relatif sama, hanya beda jam terbang.
Kedua, selain sudah dua periode menjabat Ketua Umum dan kemudian berlanjut menjabat Ketua Dewan Pembina, sehingga kondisi psikologis Pak Wiranto pun tidak seperti dulu lagi yang “semangat 45”, barangkali Pak Wiranto memiliki hambatan psikologis bila hendak berseberangan sikap dan pendapat dengan OSO, mengingat beliaulah yang sahamnya mayoritas dalam mendudukkan OSO di kursi ketua umum.
Jadi, sebagai orang Jawa ada semacam rasa ewuh-pakewuh (risih) dalam diri Pak Wiranto bila harus bersikap “zakelijk” (Belanda: kaku) terhadap OSO.
Munaslub
Entah bagaimana caranya, apakah lewat Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) atau mekanisme lain, yang penting tidak melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), Pak Moeldoko perlu didaulat menjadi Ketua Umum Partai Hanura, bukan lagi OSO atau Daryatmo. Tentu atas restu Pak Wiranto. Apa pun keputusan PTUN nanti, abaikan saja.
Hukum itu ibarat pedang bermata dua. Siapa pun yang memegangnya, akan terluka, baik pihak yang menang apalagi pihak yang kalah.
Sebab itu, apa pun keputusan PTUN nanti, tak akan memuaskan kedua kubu. Implikasinya, rekonsiliasi (rujuk) kedua kubu pun tak akan mudah, dan kalau dipaksakan akan menyisakan luka, atau setidak-tidaknya memar, baik di tingkat elite maupun grass roots.
Melalui “jalan tengah” dengan menjadikan Pak Moeldoko sebagai ketua umum, niscaya rekonsiliasi akan terjadi secara natural, alami, tanpa paksaan, sehingga Hanura pun akan terhindar dari buah simalakama. Lalu akan terjadi win-win solution (solusi menang semua) dan tidak ada yang kehilangan muka (loss face).
Setelah itu, Hanura harus fokus pada pemenangan Pilkada 2018 yang akan digelar serentak di 171 daerah pada 27 Juni nanti, serta Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 yang akan digelar bersamaan. Bila tidak, jangan berharap Hanura akan lolos PT 4%. Apa artinya bersusah payah ikut pemilu bila akhirnya tidak dapat bertahan di Senayan?
Ingat, Hanura adalah juru kunci Pemilu 2014 yang berhasil meraih “hanya” 16 dari 560 kursi di DPR RI. Bila tergelincir sedikit saja, Hanura bisa terlempar dari Senayan dan bernasib sama dengan Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang ikut Pemilu 2014 tapi tak berhasil mendudukkan kadernya di DPR RI. Sayang bila “modal” 16 kursi DPR RI dan 1.320 kursi DPRD provinsi/kabupaten/kota se-Indonesia lenyap di 2019.
Jadi, kedua kubu hendaknya legawa (ikhlas) dan berjiwa besar, jangan “rebut balung tanpa isi” atau ibarat anak-anak berebut layang-layang putus, di mana ketika satu anak sudah mendapatkan layang-layang itu, anak-anak lainnya akan merobeknya sehingga kedua pihak tidak ada yang bisa mengunakan layang-layang itu. Jangan sampai gara-gara konflik internal yang berkepajangan, Hanura tak lolos PT 4%.
Coretan sederhana dan mungkin akan diangap naif ini tidak dimaksudkan untuk menggurui atau mendikte (fait accomply) pihak mana pun, baik kubu OSO atau pun kubu Daryatmo, apalagi Pak Moedoko dan Pak Wiranto. Ibarat Hanura ini mobil, pesawat, kapal, atau kereta, penulis hanyalah sebuah sekrup kecil yang tidak terlalu vital fungsinya.
Ketulusan, keikhlasan, dan rasa ikut memiliki (melu handarbeni) terhadap Hanura inilah yang menjadikan penulis merasa melu hangrungkebi (ikut bertanggung jawab) terhadap eksistensinya, dan mulat sarira hangrasawani (introspeksi diri) kalau tidak bisa disebut otokritik.
Apalagi ada adagium, keluar dari mana pun, mutiara tetap akan bernama mutiara. Ia tak akan tertukar dengan kerikil atau batu akik.
Demikianlah, permintaan maaf perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, bila ternyata “surat terbuka” ini membuat hati kurang berkenan.
Ir. H. Totok Sugiyarto, S.H., M.M: Wakil Ketua Bappilu/Ketua Wilayah Kalimantan DPP Partai Hanura.