Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Fenomena Kepemimpinan Kontemporer dan Respon Atas Masa Depan Dunia
Presiden Rusia Vladimir Putin kembali meraih kemenangan telak dalam pemilihan presiden Rusia, Ahad (18/3/2018) lalu.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Anis Matta
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin kembali meraih kemenangan telak dalam pemilihan presiden Rusia, Ahad (18/3/2018) lalu.
Kemenangan ini menandakan bahwa Putin telah memimpim Negeri Beruang Merah sejak tahun 2000 hingga 2024. Kemenangan telak ini juga akan menggenapkan masa kepemimpinan Putin selama hampir seperempat abad.
Di negeri China, Xi Jinping sebelumnya juga terpilih sebagai presiden China untuk periode kedua yaitu 2018-2023.
Bersamaan dengan itu, Kongres Partai Komunis China telah menghapus pembatasan dua periode bagi presiden. Ini berarti Xi Jinping akan memimpin tanpa batas waktu, termasuk sampai seumur hidup.
Sebelum mengangkat menjadi presiden tanpa batas, pada Oktober 2017, Kongres Partai Komunis China telah memasukkan pemikiran Xi Jinping kedalam konstitusi mereka.
Pemikiran yang diberi titel “Xi Jinping Thought on Socialism with Chinese characteristics for a New Era”, telah menempatkan Xi Jinping sebagai pemimpin legendaris setelah Mao Zedong dan Deng Xiaoping dalam sejarah modern China.
Kini, semua kekuasaan bertumpu di tangannya: ia adalah Sekertaris Jendral Partai Komunis China, Presiden Republik Rakyat China, dan Ketua Komisi Pusat Militer China. Ia diperkiran akan memimpin China hingga 2033, atau sekitar 20 tahun. Kalau itu terjadi, Xi Jinping akan turun tahta saat ia berusia 80 tahun.
Di Turki, kita mengenal Presiden Recep Tayyip Erdogan yang punya jalan cerita hampir sama. Ia menjadi perdana menteri dalam sistem parlementer sejak 2003 selama dua periode, Erdogan berlanjut menjadi presiden Turki untuk periode 2014-2019.
Referendum 2017 lalu telah mengubah konstitusi Turki dari sistem parlementer menjadi presidensial. Penerapan konstitusi baru itu akan dimulai pada pilpres 2019 mendatang.
Ini berarti Erdogan berhak menjadi presiden Turki selama dua periode mendatang atau hingga 2029. Jika itu terjadi, Erdogan, lahir 1954, akan memimpin Turki selama 26 tahun dan turun tahta saat ia berusia 75 tahun.
Dengan mengecualikan China, kepemimpinan di Turki dan Rusia telah melalui pemilihan dalam koridor demokrasi. Selain itu, satu hal yang perlu diperhatikan dari ketiga kepemimpinan itu adalah bahwa pilihan rakyat mempertahankan pemimpin dalam waktu lama merupakan pertanda bahwa para pemimpin tersebut memang membawa perubahan besar dalam kehidupan mereka.
Ada kesadaran kolektif dalam benak elite dan publik bahwa perubahan-perubahan besar membutuhkan waktu lebih panjang, dan pemimpin yang membawa narasi perubahan itu memang pantas diberi kesempatan.
Kegamangan dalam Transisi Panjang Sistem Global