Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Calista Negara Harus Berbuat Apa?
LPAI urun rembuk atas langkah kerja Kapolres Karawang dalam kasus tewasnya Calista, bayi lima belas bulan, korban penganiayaan oleh ibu kandungnya sen
Ditulis oleh: Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - LPAI urun rembuk atas langkah kerja Kapolres Karawang dalam kasus tewasnya Calista, bayi lima belas bulan, korban penganiayaan oleh ibu kandungnya sendiri.
Sebagaimana dikabarkan media, Kapolres menyatakan bahwa ia membuat terobosan hukum dengan menyelesaikan kasus tersebut di luar pengadilan. Sisi humanis Kapolres Karawang, LPAI tafsirkan, merupakan paras modern Polri dewasa ini.
Langkah hukum atas Sinta, ibu kandung Calista, sepatutnya dapat memunculkan dua ragam efek jera. Efek jera langsung adalah agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Efek jera tak langsung, tepatnya disebut efek tangkal, adalah agar masyarakat tidak meniru perbuatan pelaku. Dalam konteks ini, LPAI sangsi bahwa penanganan di luar jalur pengadilan atas Sinta akan dapat memenuhi efek jera sekaligus efek tangkal tersebut.
Baca: Kondisi Melemah, Limbad Ogah Dirawat di Rumah Sakit
Menjadikan kesulitan ekonomi sebagai faktor penggugur proses pidana atas diri pelaku berisiko disalah-artikan masyarakat, bahwa dispensasi hukum seolah berlaku bagi masyarakat tertentu.
Padahal, dalam nalar kejahatan sebagai solusi, sangat sulit dipahami bahwa kesulitan ekonomi justru tidak berlanjut dengan kejahatan ekonomi sebagai 'jalan keluar' atas masalah hidup pelaku tersebut.
Kesulitan ekonomi yang dikompensasi dengan tindakan penganiayaan bayi merupakan bentuk perendahan harkat kemuliaan manusia oleh orang yang dianggap sebagai figur terdekat atas darah dagingnya sendiri.
Tambahan lagi, seperti media wartakan, kegagalan berulang Sinta dalam kehidupan perkawinannya mengindikasikan bahwa yang bersangkutan pada dasarnya sudah memiliki satu faktor risiko yang berdasarkan studi diketahui bertali-temali dengan tindak kejahatan yang disertai kekerasan.
Hal ini berkaitan dengan bahasan tentang risk assessment (penakaran risiko). Risk assessment, belum dipraktikkan di Indonesia, diselenggarakan untuk memprediksi seberapa mungkin pelaku kejahatan dengan kekerasan akan mengulangi perbuatannya.
Risk assessment dilakukan dengan meninjau beberapa faktor pada diri pelaku. Pertama, riwayat gangguan mental dan penyalah-gunaan obat-obatan. Kedua, pola dalam mengekspresikan amarah. Ketiga, kemampuan memenuhi kebutuhan diri sendiri. Keempat, fantasi-fantasi kekerasan. Dan kelima, kemampuan menjaga stabilitas hal-hal mendasar, semisal tempat tinggal, pekerjaan, dan perkawinan.
Risk assessment dilakukan dalam rangka memastikan bahwa masyarakat tidak akan terekspos lagi dengan perilaku kekerasan si pelaku kelak setelah ia keluar dari penjara. Dalam konteks semacam kasus Calista, risk assessment diadakan untuk memastikan bahwa andai kelak memiliki bayi kembali, Sinta tidak akan melakukan penganiayaan lagi terhadap anaknya.
Risk assessment dapat didesain sebagai salah satu elemen dari program rehabilitasi di dalam penjara. Elemen lainnya, karena tindak kriminalitas terkait dengan relasi orang tua dan anak, maka edukasi keterampilan pengasuhan juga disertakan dalam program rehabilitasi terhadap pelaku. Sedangkan penguatan ekonomi pelaku, seperti yang juga menjadi sorotan Kapolres Karawang, diupayakan sebagai bentuk penanganan di luar penjara.
Risk assessment, edukasi pengasuhan, dan pemberdayaan ekonomi sepatutnya diselenggarakan tanpa mengorbankan proses pidana. Jadi konkretnya, terhadap pelaku semestinya tetap dijalankan proses hukum hingga jatuh putusan hakim. Nantinya, apabila hakim memvonis bersalah pelaku, hakim dapat memasukkan tiga agenda tersebut di atas sebagai bentuk penanganan yang negara kenakan terhadap terpidana selama ia menjalani masa hukumannya.
Baca: Pihak Keluarga Sudah Ikhlaskan Kepergian Probosutedjo
Vonis hakim, sebagai wujud tuntasnya proses hukum, juga mencerminkan terpenuhinya nilai keadilan yang diidamkan masyarakat dan bayi Calista sendiri. Spesifik terhadap bayi Calista, vonis bersalah yang hakim jatuhkan mencerminkan pengembaliaan harkat kemuliaan diri bayi malang tersebut.
Hanya dengan kerangka berpikir dan bingkai kerja di atas, kebutuhan pelaku akan treatment (seperti yang dikemukakan Kapolres Karawang) serta kepentingan masyarakat dan anak-anak Indonesia akan adanya punishment dan protection akan menemukan titik harmonisnya.
Treatment, punishment, protection, inilah trisula ideal penegakan hukum atas kasus-kasus kejahatan terhadap anak di Tanah Air.