Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bubarnya Sebuah Negara
Cukup banyak peristiwa tentang jatuh bangunnya sebuah peradaban, baik di masa pra-literasi maupun di zaman moderen.
Editor: Hasanudin Aco
Studi Brinton menemukan bahwa terdapat kegelisahan sosial yang relatif sama di keempat negara tersebut di atas sebelum terjadi revolusi. Kegelisahan itu adalah keuangan negara yang defisit, komplain massif atas perpajakan, pemihakan pemerintah yang mengistimewakan kelompok tertentu dan administrasi pemerintahan yang semrawut.
Gejala sosial lainnya yang menonjol adalah hilangnya kepercayaan diri dari elit pemerintahan, membelotnya banyak pihak yang selama ini diuntungkan oleh negara, pengalihan dukungan para intelektual ke kelompok revolusioner dan terjadinya perpecahan politik di rezim yang berkuasa.
Negara Bubar
Bagaimana dengan kekhawatiran Indonesia bubar tahun 2030? Skenario ini tentu bukannya tanpa dasar. Novel "Ghost Fleet" yang ditulis oleh Peter Warren Singer cukup mengundang kontroversi. Meski ditulis dengan genre fiksi ilmiah, novel ini layak untuk direnungkan.
Mencermati hasil studi Diamond, Acomeglu dan Brinton, nampaknya terdapat pola yang sama dengan apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Pertama, bunuh diri ekologis begitu massif dan nyata terjadi di Indonesia dengan tingkat kecepatan yang luar biasa.
Deforestasi, banjir, pencemaran kimia akibat pestisida dan herbisida, penangkapan ikan berlebihan, perburuhan hewan yang melewati batas, buruknya pengelolaan air, erosi dan sedimentasi, kekeringan yang berkepanjangan serta gagal panen yang berulang.
Kedua, institusi ekonomi yang tidak inklusif. Sistem ekonomi liberal kapitalis yang diadopsi ternyata tidak mampu mensejahterakan sebagian besar rakyat, dimana kemiskinan dan ketimpangan sosial sangat lebar dan massif. Sistem politik demikian pula adanya.
Korupsi merajalela di semua level pemerintahan, birokrasi yang tidak produktif, krisis pelayanan publik, sistem politik yang demokratis tetapi praktiknya sangat eksklusif.
Ketiga, tesis Brinton tentang gejala awal revolusi seperti keluhan atas pajak, pemerintahan yang tidak responsif, membelotnya intelektual serta perpecahan oleh para elit, nampaknya terjadi saat ini di Indonesia. Seberapa valid ramalan Indonesia bubar 2030?
Meski gejalanya sudah nampak mulai dari aspek ekologis, institusi ekonomi-politik yang eksklusif serta perpecahan elit pemerintahan, saya masih optimis Indonesia masih utuh 2030.
Sebagai bagian dari elemen bangsa, sudah seharusnya kita menyebar ide-ide segar tentang pembangunan dan kesejahteraan untuk semua.
Meski kejatuhan sebuah bangsa bukan di saat ekonominya terpuruk, revolusi pun terjadi bukan pada saat masyarakat di puncak penderitaannya. Ia terjadi karena harapan yang membuncah akan pengelolaan negara yang pro rakyat tak dapat dibendung.
Kalaupun di 2030 Indonesia masih berkutat dengan berbagai macam isu ekologis, sistem ekonomi yang belum inklusif dan perpecahan elit yang tajam, bubarnya negara bukanlah sebuah harapan. Ia hanya pengingat bahwa tanda-tanda revolusi sudah semakin dekat.
Dompu, Kaki Gunung Tambora, Maret 2018.