Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Islam, Negara, dan Anomali Politik Jokowi
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan road show ke pelbagai Pondok Pesantren belakangan ini merupakan anomali tindakan politik
Editor: Malvyandie Haryadi
Hal lain agama diharapkan dapat berperan mendorong proses demokratisasi atau melahirkan spiritualitas politik yang dapat menebarkan aroma dan nafas religius kedalam praktek politik kenegaraan.
Di sini hubungan Islam dan negara merupakan mutualis-simbiosis antara satu dengan yang lainnya. Kebijakan negara yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai ajaran suci agama akan ditentang oleh penganut agama yang inheren menyatu dalam kehidupan masyarakat seperti kebijakan diskriminatif dalam ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain.
Dalam konteks itu, ada dua faktor proses untuk mengintegrasikan antara kepentingan Islam dan negara, yaitu: pertama, keterlibatan umat Islam secara proporsional dalam lembaga politik negara. Karena itu umat Islam harus berpolitik dan masuk ke partai politik yang memperjuangkan kepentingan umat Islam dan Kedua, dipertahankannya politik nasional bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler tetapi negara yang mengakui eksistensi agama dan kebebasan menjalankan ajaran agama.
Karena itu, dari sudut pandangan Islam, pernyataan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler artinya bukan negara yang menganut sekulerisme berupa pemisahan negara dari agama dan bukan pula negara teokrasi dalam arti bukan negara yang kekuasaannya dipegang oleh para pemuka agama seperti pendeta, rohaniawan atau ulama dapat dibenarkan dan diterima dalam konsepsi bernegara.
Dalam pergolakan politik di Indonesia, elite politik Islam dimasa awal pembentukan negara menginginkan berdirinya negara yang berdasarkan Islam. Sementara disisi lain menginginkan corak nasionalis yang mengakomodir semua kelompok agama dan keyakinan karena kebhinekaan warganya.
Perdebatan dasar negara tersebut tergambar dalam risalah rapat dan sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sejak 25 Mei 1945 hingga 18 Agustus 1945 atau total 14 hari pembahasan rancangan UUD 1945.
Pada tiitk kesimpulan, para founding father Negara kita akhirnya menyepakati Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan UUD 1945 (sebelum amandemen) sebagai konstitusi negara. Dan hemat saya, memperdebatkan Islam, politik dan negara sudah berhenti sampai disini dan umat Islam menerima Pancasila sebagai dasar negara.
Kandungan Pancasila dan UUD 1945 kendatipun tidak lagi menyebut secara eksplisit agama Islam tetapi tetap mengakui konsepsi ber-Tuhan dan kebebasan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing memberi pemaknaan nyata bahwa agama dan negara (politik kekuasaan) tidak bisa dipisahkan.
Fungsi Agama dan Jokowi
Di pelbagai negara, agama dan keyakinan yang dianut masyarakatnya tak bisa dilepaskan dari kehidupan suatu bangsa atau negara. Renaissance (1350-1600) pada abad pertengahan di Eropa menurut Max Weber, disemangati oleh etika Protestan, peradaban bangsa sipit seperti Jepang, Taiwan, Korea, dan China dalam pandangan Robert N. Bella juga disemangati oleh ajaran Konfusius.
Dengan demikian Agama sangat berperan memberikan motivasi terhadap kemajuan negara karena diyakini sebagai sumber nilai, baik nilai moral maupun etika dalam menjalankan kekuasaan politik negara. Menjauhkan agama dengan negara sama halnya membiarkan negara tanpa tuntunan nilai moral dan etika dalam menyelenggarakan kekuasaan negara.
Tesis Elizabeth K. Nottingham menyatakan, ada tiga fungsi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu: Pertama, agama berfungsi sebagai pemelihara ketertiban masyarakat, karena nilai-nilai moral yang diajarkan agama banyak mempengaruhi perilaku elit pemerintah.
Kedua, berfungsi integratif, bahwa agama dengan ajaran moralitasnya melarang pemeluknya untuk saling bertikai, bertentangan dan bermusuhan tapi justru mengajarkan persatuan, persaudaraan, saling menghormati satu dengan yang lainnya, dan itu dapat bersatu dalam ikatan keyakinan terhadap agama;
Ketiga, pengukuhan nilai-nilai agama dengan ajaran budi pekerti, kejujuran, keadilan, kebenaran yang merupakan nilai dasar dalam penataan negara dan berkembangnya tatanan demokrasi yang dianut banyak negara.