Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Aku Berkarya Maka Aku Ada
Selain sebagai pembuktian eksistensi diri pelukis, lanjut Aziz, pameran luisan juga bisa menjadi ajang publik dalam menyampaikan apresiasi
Editor: Hendra Gunawan
Oleh Karyudi Sutajah Putra
“Bila Rene Descartes, seorang filsuf eksistensialis asal Perancis berkata, ‘Cogito ergo sum’ (aku berpikir maka aku ada), maka para pelukis yang tergabung dalam KPNS ini pun bisa berkata, ‘Aku berkarya maka aku ada’,” kata Ketua Badan Anggaran DPR RI Aziz Syamsuddin dalam katalogpameran lukisan bertajuk “C’est La Vie”(Inilah Kehidupan) yang diselenggarakan Komunitas Perupa Napas Seni (KPNS) di galeri Institut Francais Indonesia (IFI), Kaboyoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (2/5/2018) petang.
Selain sebagai pembuktian eksistensi diri pelukis, lanjut Aziz, pameran luisan juga bisa menjadi ajang publik dalam menyampaikan apresiasi terhadap karya-karya yang dipamerkan. “Apresiasi itu ada yang sebatas menghargai karya seni, namun ada pula yang berlanjut pada apresiasi ekonomi, dengan membeli karya seninya,” jelas Aziz yang juga politisi Partai Golkar.
Entah kebetulan atau tidak, langkah Aziz menyitir filsuf Perancis, Rene Descartes (1596-1650), ternyata tak lepas dari fakta bahwa pameran lukisan ini terselenggara atas kerja sama dengan IFI. “Kita sampaikan apresiasi yang tinggi kepada IFI,” kata Aziz.
Saat menyampaikan pidato pembukaan, Aziz mengaku sudah familiar dengan IFI, karena anaknya kursus bahasa Perancis di sana. “Jadi, saya ke sini semacam bergabung dengan keluarga,” tutur Aziz yang kemudian menerima cindera mata berupa lukisan bersosok putra-putrinya yang diserahkan pelukisnya, Yusuf Dwiyono (53).
Ireng Halimun, koordinator pameran, menjelaskan, pameran ini adalah penyempurnaan hubungan baik antara KPNS dengan IFI yang dua tahun lalujuga bekerja sama dalam pameran bertajuk “Seni Kasih Rupa Cinta” di galeri yang sama, Februari 2016. “Pameran kali ini, KPNS terinspirasi lagu berbahasa Perancis, C’est La Vie’yang dilantunkan Emerson Lake and Palmer,” terang Ireng yang juga Ketua KPNS.
Pameran yang akan berlangsung hingga 15 Mei 2018 ini melibatkan 22 pelukis. Selain Yusuf Dwiyono dan Ireng Halimun, ialah Adams Bonsai, Achmad Hidayat, Agus Pisaro Widada, Al Sutrisno, Ali Taba, Amir Sarifudin, Anderas C Wijaya, Antonius Kriswanto, Ari Haryanto, Dayana Seetha, Eko Budi Santoso, Hendrik Papung, Irmanto Sulaiman, Kembang Sepatu, Marina Yuzhakova, M Ibnu Alwan, Mulyana Silihtonggeng, Novandi, Ryva R danSiswantoro, dengan kurator Yusuf Merwan.
Sarah, mewakili Konselor Kerja Sama dan Kebudayaan Kedubes Perancis di Jakarta/Direktur IFI Marc Pitonmenyatakan, pameran ini merupakan hasil pemikiran 22 pelukis yang telah bekerja keras untuk menunjukkan indahnya kehidupan di dalam lukisan. “Dengan judul Inilah Kehidupan, diharapkan semua dapat melihat kedalaman estetika dari karya para peseni ini, dan menemukan keindahandari makna kehidupan itu sendiri,”jelasnya.
Merwan Yusuf menyatakan, hidup adalah suatu konsep yang paling mendasar dari manusia, sehingga tema pameran ini berhubungan langsung antara hidup, yang ditandai dengan napas, dan kreativitas yang menjadi pijakan dasar bagi seseorang dalam berkarya seni. “Semangat berkreasi harus dinyalakan terus karena kreativitas itu adalah makanan jiwa manusia,” ujarnya.
Di sisi lain, ada catatan sejarah ihwal “sumbangan” Perancis kepada Indonesia. Pada 1959 Perancis menyumbangkan 150 karya seni kelas dunia, seperti karya Wasily Kandinsky, Victor Vassarelly, Hans Arp, Jean Lurcat, Hans Hartung, Pierre Soulages, Sonia Delauney, dan Zao Wou Ki yang hingga kini masih tersimpan rapi dan menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia. Lewat karya-karya seni itu, Perancis sekaligus menyumbangkan semangat “la liberte” (pembebasan) yang mutlak harus diperjuangkan.
Terkait lukisan “Keyword” (40 x 60, cat acrylic di atas kanvas, 2018) yang dipamerkan, pelukis Kembang Sepatu menjelaskan makna lukisannya, yakni saat ini terjadi perubahan nilai kehidupan dari dunia realis/nyata ke dunia digital/maya. “Meski maya, namun masyarakat memercayainya. Semua hal bisa kita temukan dengankeyword di google,” katanya. (*)
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.