Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pentingnya Pengesahan Revisi UU Anti Terorisme
"Polri bersama pemerintah tidak henti-hentinya melakukan berbagai upaya pencegahan paham radikal ini, dikarenakan kerusakan yang diakibatkan begitu...
Editor: Malvyandie Haryadi
Oleh karena itu, Irjen Pol Setyo Wasisto kembali menegaskan bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme secara terpadu akan mencapai kondisi yang ideal daripada menanganinya secara sektoral mengingat aksi teror yang semakin marak.
Untuk itu, prioritas utamanya adalah dari sisi payung hukum maupun tanggung jawab bersama pemangku kepentingan serta dukungan publik dan media massa yang kuat terhadap Polri.
Terorisme adalah musuh bersama sehingga Polri tidak bisa bekerja sendiri karena keterbatasan sumber daya. Maka dalam hal ini mengharapkan adanya kerjasama yang baik dengan TNI, BNPT, BIN, pemerintah pusat dan daerah, tokoh agama serta masyarakat. Keterlibatan TNI sendiri saat ini adalah dari Kopassus yang siap membantu Densus 88.
Kemudian terdapat dua pendekatan yang digunakan, pertama adalah hard approach yang digunakan aparat penegak hukum untuk melaksanakan proses penegakan hukum dengan tegas dan profesional terhadap pelaku teroris dan jaringannya.
Kedua adalah soft approach yaitu aparat penegak hukum melaksanakan deradikalisasi dan kontra radikalisasi dengan memperkuat daya tangkal masyarakat.
Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto, upaya percepatan pengesahan revisi UU pemberantasan terorisme terkait beberapa hambatan yang dihadapi.
Pertama, polisi bisa bergerak jika pelaku sudah terbukti melakukan tindakan terorisme.
Kedua, polisi bisa menahan dan menggali informasi dalam waktu 7 hari dan pengintaian bisa dilakukan setelahnya. Ketiga, polisi bisa bersifat responsif bertindak jika ada aksi teror. Terakhir, kewenangan mencegah pelaku dalam aksi sangat lemah.
Sedangkan revisi UU 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme sendiri yang pertama diajukan sejak bom Thamrin.
Kedua, pembahasan masuk ke rancangan UU di DPR tetapi belum disahkan.
Ketiga, pembentukan cyber troop dan pelaksanaan patroli cyber untuk antisipasi hoax dan cipta kamtibmas. Keempat, UU ini memuat kewenangan terkait penanganan aksi teror tetapi tidak ada pencegahan.
Kelima, penanganan terpadu dan efektif butuh payung hukum yang lebih kuat. Terakhir, masih belum ada kesepahaman terkait beberapa pasal dalam RUU anti terorisme.
Dari sisi RUU anti terorisme sendiri ada beberapa materi perdebatan yaitu Pasal 1 Ayat 1 tentang definisi giat terorisme. Pasal 25 Ayat 2 tentang perpanjangan penahanan untuk terduga teroris. Pasal 31 Ayat 1 B tentang penyadapan terhadap terduga teroris. Pasal 12b Ayat 5 tentang pencabutan kewarganegaraan.
Pasal 43 a tentang penahanan seseorang terduga selama 6 bulan. Pasal 43b Ayat 1 tentang bantuan TNI dalam penanggulangan terorisme. Selain itu, pembahasan ujaran kebencian juga perlu dimasukkan untuk memperkuat UU ITE.
Div Humas Polri