Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
“Petinggi Partai Golkar Tak Paham Konstitusi"
Kecacatan dan kesesatan berpikir tersebut setelah memerhatikan komentar para petinggi Partai Golkar tersebut yang kian galau dan ugal-ugalan tersebut,
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Syamsuddin Radjab
Direktur Eksekutif Jenggala Center
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Manuver politik petinggi Partai Golkar yang dibalut dalam acara diskusi DPP Partai Golkar yang diselenggarakan di Slipi, Jakarta Barat pada Sabtu, 2 Juni 2018 lalu yang dihadiri Agung Laksono, Rambe Kamarulzaman, Rully Chairul Azwar, dan lain-lain serta menyoroti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dua periode sangat tendensius.
Sebelumnya, pernyataan saudara Happy Bone Zulkarnain, salah satu ketua DPP Partai Golkar pada Kamis, 31 Mei 2018 juga menyoroti masa jabatan Prseiden dan Wakil Presiden ditengah pengajuan judicial review yang dilakukan kelompok masyarakat terhadap Pasal 169 huruf n UU No. 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUDN RI 1945 termasuk adanya pertentangan norma sederajat terhadap Pasal 43 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan hak-hak sosial politik yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2015 Tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights.
Ada baiknya, para petinggi Partai Golkar tersebut membaca secara keseluruhan ketentuan BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dalam UUDN RI 1945 dari Pasal 4 hingga Pasal 16 agar pemahaman mengenai sistem pemerintahan presidensial dapat lebih baik dan bukan sekedar membaca ketentuan Pasal 7 UUDN RI 1945.
Membaca Pasal 7 tanpa membaca pasal sebelum dan sesudahnya dapat melahirkan kesesatan berpikir dalam memahami ketentuan sistem presidensial yang kita anut. Belum lagi, bagaimana memahami suatu norma dasar itu dirumuskan? baik landasan filosofis, sosiologis, yuridis dan juga kronologis kenapa suatu norma itu menjadi penting dirumuskan dan ditetapkan sebagai kerangka dasar dalam pemerintahan sistem presidensial.
Karenanya, pemahaman original intent dalam suatu perumusan peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang Dasar perlu dimengerti agar norma tersebut dapat diketahui maksud dan tujuannya sebagai salah satu bentuk penafsiran terhadap konstitusi yang menjadi kewenangan Mahkamh Konstitusi.
Pernyataan saudara Happy Bone Zulkarnain yang dimuat Tribunnews.com pada Kamis, 31 Mei 2018 19:41 WIB. [Golkar Tegaskan Pengusungan Cawapres Harus Sesuai Konstitusi] dan juga dimuat beberapa media online lainnya serta pernyataan saudara Agung Laksono mengandung kecacatan berpikir dan menyesatkan publik hanya untuk memuaskan Ketua Umumnya, Airlangga Hartarto.
Kecacatan dan kesesatan berpikir tersebut setelah memerhatikan komentar para petinggi Partai Golkar tersebut yang kian galau dan ugal-ugalan tersebut, yaitu:
Pertama, dalam berita diatas saudara Happy Bone Zulkarnain mengaku “ikut merumuskan amandemen Pasal 7 UUD 1945”. Dalam dokumen naskah komprehensif perubahan UUDN RI 1945 tidak ditemukan nama yang bersangkutan sebagai Tim PAH III BP MPR 1999 (perubahan pertama) yang mengamandemen Pasal-pasal yang mengurangi kekuasaan eksekutif sebanyak 10 Pasal. Dengan demikian saudara Happy telah melakukan kebohongan publik dengan mengaku-ngaku ikut merumuskan amandemen Pasal 7 UUDN RI 1945;
Kedua, pernyataan dalam frasa “hingga ditentukanlah dua periode. Dan itu sudah inkrah, dan sudah berlaku sekian lama..”. Frasa “Inkracht” tidak dapat ditujukan pada UUD (groundwet) karena kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan yang tertinggi sehingga hanya bisa dijadikan sebagai acuan dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya termasuk dalam merumus norma pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Pernyataan Frasa “inkracht” dalam komentar tersebut lebih bermakna bahwa UUD telah diperkarakan ke pengadilan oleh orang/kelompok tertentu padahal yang dipersoalkan adalah ketentuan UU yang dinilai bertentangan dengan UUDN RI 1945.
Biarkan Mahkamah Konstitusi menguji pasal yang dimohonkan pemohon dan memberi tafsir terhadap pasal 7 UUDN RI 1945 tersebut dan bukan tafsir menurut petinggi Partai Golkar yang tidak memiliki kekuatan apa-apa kecuali kepentingan politik kelompok internal partai tersebut.
Ketiga, saudara Happy Bone Zulkarnain telah membangun opini publik yang bersifat misleading prejudices (prasangka menyesatkan) dengan mengatakan bahwa “..uji materi dikaitkan dengan Jusuf Kalla maju kembali mendampingi Joko Widodo di Pilpres 2019, berseberangan dengan apa yang pernah diucapkan mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut”.
Dengan pernyataan ini, saudara Happy menuding JK telah menyuruh/meminta pihak lain agar melakukan judicial review terkait Pasal yang dimohonkan dan diributkan oleh saudara Happy dan petinggi Partai Golkar lainnya saat ini.
Saya sarankan saudara Happy agar bertanya langsung kepada pemohon penguji undang-undang tersebut agar lebih jernih dan sehat berpikir menilai orang lain. Lebih dari itu saya harapkan agar Partai Golkar secara resmi mendaftarkan diri sebagai PIHAK TERKAIT dalam permohonan dimaksud agar pertarungan ide dan gagasan terkait Pasal 7 UUDN RI 1945 lebih terhormat dibandingkan “ngecap” diruang publik.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.