Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Diperlukan Anti Virus Politik dan Budaya
Tekanan arus globalisasi tidak hanya menyentuh dunia ekonomi atau lapangan usaha, tetapi terus menjalar menekan berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Ditulis oleh Bambang Susilo,
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tekanan arus globalisasi tidak hanya menyentuh dunia ekonomi atau lapangan usaha, tetapi terus menjalar menekan berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam) sungguh terasa sakit oleh dahsyatnya tekanan arus globalisasi. Kita tidak bisa menghindar dari tekanan itu karena globalisasi adalah sebuah keniscayaan.
Baca: Hampir Bocorkan Nama Cawapres yang Akan Dampingi Sang Ayah, Kaesang Pangarep Kena Tegur
Sakitnya kehidupan politik dan budaya serta dampak buruk dari kebebasan berekspresi melalui media massa khususnya media massa elektronik (TV dan sosmed) merupakan faktor yang melatarbelakangi diperlukannya “anti virus” agar pengaruh buruk tersebut dapat dikendalikan.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan stakeholder terkait harus mampu berbuat untuk itu.
Baca: Semester I 2018, Kredit BTN Tumbuh 19,14 Persen
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga negara yang lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
Lembaga negara yang bersifat independen ini bertugas mengemban amanah untuk mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
Virus Politik
Hiruk pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini terpusat di panggung politik. Melalui media massa elektronik dan Medsos, masyarakat disuguhkan kegaduhan politik. Sesungguhnya kegaduhan ini tidak bisa dianggap “sepele” dengan dalih kewajaran tahun politik.
Keengganan para tokoh politik dan pemangku kepentingan untuk menjadikan demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila sebagai sistem politik (demokrasi) seperti yang pernah digunakan oleh rezim Orde Lama dan Orde Baru ternyata menyengsarakan sistem politik yang dimainkan oleh barisan sakit hati dan frustasi, dan para oportunis politik pragmatis.
Tidak ada idealisme. Tidak ada mainditisme terhadap doktrin partai. Motif perjuangannya adalah uang dan kekuasaan.
“Kegaduhan” Unjuk Rasa.
Sebagai negara demokrasi, pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahannya membutuhkan suara rakyat.
Tetapi karena besarnya populasi penduduk, bentuk demokrasi langsung sangat tidak efisien dan efektif, dimana dalam sistem demokrasi.
Setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam menyuarakan aspirasi terhadap situasi politik yang terjadi.
Akhirnya kita sepakat sistem demokrasi perwakilan merupakan alternatif yang terbaik, namun acapkali dalam pelaksanaannya suara rakyat tersumbat oleh para wakilnya karena kepentingan. Faktor tersumbatnya aspirasi rakyat oleh para wakilnya dan faktor kepentingan inilah sesungguhnya yang menyebabkan awal mula rakyat memilih untuk berunjuk rasa turun ke jalan meneriakkan aspirasinya.
Adagium vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan) oleh wakil rakyat dianggap tidak absolut, artinya bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan hanya berlaku pada saat penentuan pemimpin atau wakil rakyat melalui pemungutan atau penghitungan suara.
Suara rakyat selain itu tidak bisa dianggap sebagai suara Tuhan, karena suara rakyat telah diwakilkan dan bisa ditolak.
Virus-virus politik yang perlu dikelola antara lain :
1. Partai tidak memiliki kerja dan etika politik yang jelas.
2. Mengutamakan siasat dan strategi politik berkala ( 5 tahun sekali ).
3. Carut marut fungsi lembaga Legislatif.
4. Motif perjuangannya adalah uang dan kekuasaan, politik pragmatis.
5. Sistem demokrasi Pancasila setengah hati.
Virus Budaya
Topik ini hanya sekelumit kecil sekitar jejaring broadcasting khususnya terkait program siaran televisi hiburan.
Virus budaya perlu dideteksi sedini mungkin agar pengaruh buruk siaran televisi tidak memperparah penyakit efek globalisasi yakni lunturnya nilai-nilai nasionalisme dan solidaritas.
Memang ada program siaran televisi hiburan yang memiliki rating, namun sesungguhnya bila dicermati dan dikupas dengan pisau analisa jati diri, program siaran televisi hiburan tersebut bermasalah.
Pengelolaan program, standar program siaran dan perilaku penyiaran tidak sesuai dengan kepribadian dan jatidiri bangsa.
Kebijakan pemilik lembaga penyiaran swasta (khususnya televisi hiburan) semakin liberal, memihak pasar yang dikuasai para kapitalis.
Penulis tidak merasa elergi terhadap kapitalis tetapi meyakini bahwa kapitalis yang tidak sesuai dengan jatidiri bangsa (Pancasila) akan menyengsarakan rakyat.
Sekelumit kecil pointers liberalnya program siaran televisi hiburan sebagai virus budaya :
1. Sinetron, semakin banyaknya episode (ratusan ) semakin rendah kualitas skrep dan skenario film sinetron. Karena tuntutan provide maka produser bisa sesuka hatinya untuk memaksakan pengembangan humlah episode. Naskah skenario tidak dipelajari oleh pemain dalam satu paket judul film. Skenario film sinetron tidak terikat oleh tema dan muatan, melainkan tersandra oleh kepentingan bisnis.
2. Penataan rundown program siaran yang tidak patut. Ada dua, bahkan lebih bentuk program sejenis (talk show) disiarkan secara berurutan. Dapat dipastikan mengingkari misi-visi, program serta AD/ART yang dibuat oleh Lembaga Penyiaran ketika mengajukan perijinan. Program siaran dapat berubah secara berkala namun etika dan standar siaran sebuah keniscayaan yang harus dipenuhi.
3. Program serial sinetron import (Mahabarata) yang ditayangkan salah satu station televisi swasta muatannya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, yaitu poliandri. Bangsa kita hanya mengenal poligami, bukan poliandri. Dalam serial itu juga dipaparkan seolah-olah bahwa dewa sebagai penguasa jagad raya (Tuhan), padahal menurut Sunan Kalijaga, dewa dikiaskan sebagai seorang pemimpin (sang pamong).
4. Program news and talk yang tidak independen.
5. Rekruitmen kerabat kerja tidak berdasarkan kopetensi tetapi pendidikan.
Pertanyaannya sekarang apakah virus-virus politik dan budaya dapat dikendalikan atau diobati?
1. Aplikasi anti virus pertama sesuai tujuan instruksional umum ada di tangan pemerintah yaitu Revolusi Mental kembali ke Pancasila Rumah Kita.
Sayangnya pemerintah dalam hal ini masih berkutat sekitar stakeholdernya. Bangsa kita adalah bangsa yang beragama, meyakini bahwa setiap penyakit tentu ada obatnya. Demikian pula penyakit efek buruk globalisasi, asalkan anak bangsa di negeri tercinta ini memiliki karakter yang kuat untuk melawan virus-virus itu dan mampu menghentikan segala ancaman dan hambatan demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Aplikasi anti virus kedua (sesuai tujuan instruksional khusus) ada di tangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Berdasarkan Undang-undang nomor 32 Tahun 2002 diberi kewenangan untuk melaksanakan tugas-tugas secara atributif yaitu menetapkan standar program siaran, menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, mengawasi program dan perilaku penyiaran, memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran.
KPI juga memiliki kewenangan untuk meninjau kembali perijinan sebuah station televisi swasta. UU no 2 Tahun 2002 pasal 31 ayat 3 dinyatakan bahwa lembaga penyiaran swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas, sedangkan lembaga penyiaran yang menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah NKRI hanyalah lembaga penyiaran publik, TVRI dan RRI (Pasal 31 ayat 2 UU no 32 Tahun 2002).