Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Beranikah Bawaslu Usut Kasus “Jenderal Kardus?"
Selain itu, parpol yang menerima dana tersebut tidak dapat mencalonkan capres-cawapres pada pemilu berikutnya.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Inilah politik. Tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan.
Setelah sebelumnya menyebut Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai “Jenderal Kardus”, Rabu (8/8/2018) malam, karena lebih memilih Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden (cawapres) daripada Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief, Jumat (10/8/2018) pagi menyatakan, “walau langit runtuh, kita tetap mendukung koalisi” Prabowo sebagai calon presiden (capres) pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019.
Prabowo-Sandiaga, Jumat (10/8/2018) siang, mendaftar ke Komisi Pemlihan Umum (KPU) sebagai pasangan capres-cawapres, setelah pagi harinya pasangan capres-cawapres lainnya, petahana Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin, juga mendaftar ke KPU.
Apa yang disampaikan Andi Arief pada Jumat (10/8/2018) pagi itu merupakan keputusan sidang Majelis Tinggi Partai Demokrat yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua Majelis Tinggi yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, beberapa saat sebelumnya.
Mengapa Letnan Jenderal (Purn) TNI Prabowo Subianto disebut “Jenderal Kardus”? Menurut Andi Arief, karena mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI ini lebih mementingkan uang daripada garis perjuangan yang benar.
Prabowo disebut memilih Sandiaga karena Wakil Gubernur DKI Jakarta itu memberikan uang mahar kepada Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masing-masing sebesar Rp 500 miliar.
Sontak, tuduhan Andi Arief itu membuat pihak PAN dan PKS kebakaran jenggot.
Mereka menganggap tuduhan itu fitnah belaka dan mendesak Andi Arief minta maaf. Ketua DPP PKS Ledia Hanifa bahkan mengancam akan memejahijaukan Andi Arief.
Mamun, mantan Staf Khusus SBY semasa menjabat Presiden RI itu bergeming. Andi mengaku mendapat informasi PAN dan PKS menerima fulus masing-masing Rp 500 miliar itu dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dan kawan-kawan.
"Mahar Rp 500 miliar ke PAN dan Rp 500 miliar ke PKS itu adalah keterangan resmi dari tim kecil Partai Gerindra, yaitu Fadli Zon, Prasetyo, Sufmi Dasco, dan Fuad Bawazier, saat pertemuan tanggal 7 Agustus sore," kata Andi, Jumat (10/8/2018).
Namun, tentu saja, Fadli Zon membantah. "Saya tidak pernah berbicara seperti itu, dan kita berbicara secara informal, brainstorming, dalam kaitan kita membutuhkan logistik," ujar Fadli Zon, Sabtu (11/8/2018).
Kini, bola ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengaku akan menelusuri tuduhan itu. Ia juga meminta Andi mau melaporkan dugaan mahar politik yang dilakukan Sandiaga.
Pasal 228 Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melarang bakal capres dan cawapres memberikan uang atau imbalan kepada parpol, agar dapat menjadi capres atau cawapres.
Bila nanti ada putusan hukum yang berkekuatan tetap membuktikan bahwa seseorang menyerahkan imbalan kepada parpol untuk menjadi capres atau cawapres, maka pencalonannya dapat dibatalkan.
Selain itu, parpol yang menerima dana tersebut tidak dapat mencalonkan capres-cawapres pada pemilu berikutnya.
Pertanyaannya, beranikah Bawaslu mengusut kasus “Jenderal Kardus” tersebut? Kalau berani, panggillah Andi Arief untuk diperiksa dan kemudian dikonfrontir dengan Fadli Zon.
Beranikah Andi Arief dikonfrontasi? Mungkin tidak. Pasalnya, kini Demokrat sudah berkoalisi dengan Gerindra, PAN dan PKS, dan bila tuduhan “Jenderal Kardus” itu diteruskan, bisa-bisa membuyarkan soliditas koalisi menghadapi Pilpres 2019.
Di sisi lain, tuduhan Andi Arief itu juga bisa dianalogikan sebagai pantulan bola. Bila PAN dan PKS menerima transaksi Rp 500 miliar, berarti Demokrat juga diduga menerima.
Tidak itu saja. Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama juga bisa menjadi sasaran tuduhan yang sama terkait sikap lunak mereka terhadap Prabowo yang tidak megambil salah seorang cawapres yang direkomendasikan Ijtima’ Ulama, Jumat (3/8/2018), yakni Ustaz Abdul Somad atau Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Al-jufri.
Untuk memutuskan mendukung Prabowo-Sandiaga atau tidak, GNPF-U akan menggelar Ijtima’ Ulama II.
Mungkin pula Bawaslu akan menimbang konsekuensi yang cukup berbahaya bila tuduhan Andi Arief itu terbukti, yakni pencalonan Prabowo-Sandiaga dibatalkan. Kalau dibatalkan, bagaimana implikasinya? Apakah KPU akan membuka pendaftaran capres-cawapres baru? Bila demikian, bukankah tahapan pilpres bisa terganggu?
Ataukah Pilpres 2019 hanya akan diikuti sepasang capres-cawapres saja, Jokowi-Maruf Amin, melawan kotak kosong? Berbahayakah konsekuensinya bagi stabilitas keamanan dan politik di Tanah Air?
Dengan pertimbangan-pertimbangan krusial tersebut, penulis meyakini Bawaslu dan KPU akan memilih untuk menutup mata terhadap tuduhan Andi Arief bahwa PAN dan PKS menerima mahar politik.
Mereka akan mencamkan ucapan Andi Arief, “walau langit runtuh tetap mendukung Prabowo”; dan mengabaikan ucapan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM): Fiat justitia ruat caelum (tegakkan keadilan walau langit akan runtuh)!
Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.