Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Menilik Karakter Pemenang dan 'Pecundang' dalam Politik Kita

Salah satu karakter pecundang adalah selalu mencoba menjatuhkan orang lain dengan berbagai cara.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Menilik Karakter Pemenang dan 'Pecundang' dalam Politik Kita
Ist/Tribunnews.com
Rahmat Sahid, eks wartawan politik dan Pembina Yayasan Ngaji Yasin Indonesia. 

Oleh: Rahmat Sahid

TRIBUNNEWS.COM - Ada pepatah bijak yang menyebutkan bahwa saalah satu karakter dari pemenang adalah selalu mencoba belajar dari setiap orang yang lebih baik dari daripadanya.

Sebaliknya, salah satu karakter pecundang adalah selalu mencoba menjatuhkan orang lain dengan berbagai cara.

Menarik untuk mengacu pada pepatah tersebut dalam kontek perpolitikan Indonesia saat ini yang sedang memasuki momentum kompetisi, baik itu kompetisi di Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres).

Namun untuk tidak melebarkan pada acuan pepatah diatas, yang seharusnya menjadi norma dan etika dalam berkompetisi, maka tulisan ini lebih fokus menyoroti bagaimana harusnya karakter para kandidat dan pendukungnya, agar bisa mendapatkan ‘label’ karakter pemenang, bukan malah menunjukkan karakter sebaliknya yakni sebagai pecundang.

Kini, Pilpres 2019 sudah memasuki tahap dimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam waktu dekat mengumumkan penetapan calon.

Pasangan calon yang akan ditetapkan KPU sudah pasti adalah Joko Widodo-KH Maruf Amin, dan satu lagi pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.

BERITA REKOMENDASI

KPU sudah menyatakan bahwa kedua pasangan memenuhi syarat, sehingga penetapan hanya soal waktu yang telah dijadwalkan.

Di tengah saling mengkampanyekan calon yang didukung, meskipun saat ini belum memasuki tahapan kampanye, maka selayaknya masing-masing harus menunjukkan karakternya sebagai pemenang.

Dengan demikian, kompetisi diisi dengan adu gagasan dan adu program. Bagi Jokowi dan pasangannya, selaku incumbent tentu akan mudah mengkampanyekan hal positif karena sudah menunjukkan kinerja dan bisa dilihat bagaimana jalannya program.

Namun begitu, bukan berarti tidak ada kelemahan yang bisa dimanfaatkan oleh competitor. Di situlah, competitor harus bisa meyakinkan rakyat sebagai pemilih bahwa atas kelemahan pemerintah saat ini, nantinya bisa diatasi ketika rakyat memberikan kepercayaan.

Tidak tepat dan tentu tidak etis bagi kandidat ketika dalam upayanya mengalahkan calon incumbent dengan cara-cara yang menjatuhkan dan terkesan asal-asalan mencari kesalahan.


Seperti dalam konteks gerakan #2019GantiPresiden, tentu itu bisa dinilai upaya yang tidak etis dan cenderung pada karakter pecundang.

Sebab, selain karena dengan adanya dua pasang calon maka pilihannya sangat sederhana: Deklarasi mendukung Jokowi-KH Maruf Amin, atau deklarasi mendukung Prabowo-Sandiaga Uno.

Kalau itu menjadi kesadaran bagi kedua pasangan kandidat, dan juga para pendukungnya, tentu akan lebi bisa dipastikan kompetisi Pilpres 2019 mendatang akan menjadi panggung demokrasi yang berkeadaban, dan menjadi semacam ‘Kawah Candradimuka’ bagi lahirnya pemimpin nasional dengan karakter pemenang.

Kalau kemudian kandidat penantang justru terus menggunakan gerakan #2019GantiPresiden, maka selain akan membodohi rakyat pemilih pada pilihan politik Asal Bukan Jokowi, yang konsekuensi politiknya jika itu terjadi maka yang dihasilkan bukanlah sosok yang memang diharapkan dan dianggap mampu memimpin bangsa ini.

Karena jika yang dibangun adalah mendidik rakyat sebagai pemilih, harusnya yang dilakukan adalah meyakinkan apa nilai lebih dari kandidat yang diusungnya, dan harapan prestasi apa yang bakal diraih jika jagoannya memenangi kompetisi.

Kalau kita mau belajar pada sejarah, tentu akan menjadikan bagaimana kompetisi Bung karno dan Bung Hatta untuk bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia setelah diproklamirkan Proklamasi Kemerdekaan.

Kala itu, Bung Hatta tidak mencari-cari alasan yang menguatkan secara subjektif bahwa dirinya lebih layak menduduki posisi Presiden pertama dibandingkan Bung Karno, meskipun tentu banyak juga orang di belakang Hatta yang mencoba untuk meyakinkan itu.

Tetapi, Bung Karno juga banyak belajar dari Hatta dan tokoh lainnya untuk bisa memimpin Indonesia yang baru saja memasuki pintu gerbang kemerdekaan.

Pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman dan dinamika politik Bapak Dwitunggal itu adalah bahwa keduanya sama-sama punya karakter sebagai pemenang. Jauh dari karakter pecundang, karena tentunya mereka juga tidak menginginkan karakter itu menjadi warisan bagi generasi mendatang, karena kalau itu terjadi justru keadaban bangsa ini yang terbumihanguskan.

Maka, sebagai penutup, sekiranya agar dalam berkompetisi menjalankan sistem demokrasi mengedepankan karakter sebagai pemenang, yang selalu mempunyai rencana-rencana kebaikan bangsa ini ke depan. Bukan justru mengedepankan karakter pecundang yang selalu mencari alasan. Wallahu A'lam Bishawab.

Rahmat Sahid: Eks Wartawan Politik, Pembina Yayasan Ngaji Yasin Indonesia

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas