Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Membangun Ketahanan Ekonomi dengan E-Commerce

Khusus bidang ekonomi, bagaimana Indonesia mau berdikari atau mandiri bila masih bergantung pada produk-produk luar negeri?

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Membangun Ketahanan Ekonomi dengan E-Commerce
Ist/Tribunnews.com
Kepala Inkubator Bisnis Universitas Agung Podomoro/Direktur Kebijakan Publik TDA, Dr Wisnu Sakti Dewobroto MSc. 

Oleh: Dr Wisnu Sakti Dewobroto

TRIBUNNEWS.COM - Bangsa Indonesia akan mencapai kesaktiannya bila berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Itulah Trisakti yang diamanatkan Bung Karno.

Khusus bidang ekonomi, bagaimana Indonesia mau berdikari atau mandiri bila masih bergantung pada produk-produk luar negeri?

Itulah yang menjadikan rupiah terus terpuruk, karena terjadi defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan, akibat membanjirnya produk asing.

Salah satu solusi untuk mengatasi defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan, yang berakibat pada terpuruknya rupiah dan bisa berujung krisis ekonomi, adalah membangun ketahanan ekonomi dengan e-commerce dan market place.

E-commerce dan market place adalah masa depan perekonomian Indonesia. Betapa tidak?

E-commerce secara umum dapat diartikan sebagai transaksi jual-beli secara elektronik melalui media internet. Adapun market place adalah aplikasi atau situs web yang memberikan fasilitas jual-beli online dari berbagai sumber.

Dengan jumlah populasi 264 juta jiwa, ke-4 terbesar di dunia, Indonesia menyimpan potensi ekonomi digital yang cukup besar seiring berkembangnya teknologi dan media sosial (medsos).

BERITA REKOMENDASI

Penetrasi pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta atau 54,68% dari total populasi. Pengguna aktif medsos mencapai 115 juta atau 44% dari total populasi.

Pengguna telepon seluler (ponsel) mencapai 371 juta atau 141% dari total populasi. Artinya, setiap orang menggunakan 1,4 ponsel atau lebih dari 1 ponsel. Pengguna medsos aktif dengan ponsel 106 juta atau 40% dari ponsel terdaftar.

Kelas menengah yang cenderung konsumtif pun bertumbuh. Ini potensi pasar yang luar biasa. Melihat potensi pasar yang demikian besar itulah maka raksasa-raksasa e-commerce dunia pun bertarung di Indonesia, di antaranya Alibaba dan Tencent (Tiongkok) serta Amazon (Amerika Serikat).

Mereka telah verinvestasi puluhan triliun rupiah di Indonesia. Akankah Indonesia sekadar menjadi pasar? Akankah Indonesia sekadar menjadi penonton?

Saat ini produk luar negeri, khususnya dari Tiongkok, masih menguasai 60% pasar e-commerce di Indonesia, sedangkan pangsa pasar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) baru mencapai 40%. Produk impor membanjiri hingga 93% dari total seluruh produk yang ada di beberapa market place besar di Indonesia, dan hanya 7% produk lokal yang ada di e-commerce.

Di sisi lain, pasar e-commerce Indonesia terbesar di ASEAN. Tahun 2025 pasar e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai US$ 46 miliar dan menguasai 52% pasar ASEAN.

Dari Sensus Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, tahun 2006-2016 pasar e-commerce Indonesia mengalami pertumbuhan sekitar 17% dengan total jumlah usaha 26,2 juta unit.

Adapun rata-rata pertumbuhan nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai 26% per tahun. Nilai transaksi e-commerce di sektor ritel di Indonesia akan terus meningkat hingga 157% periode 2016-2021.

Produk yang banyak dibeli secara online adalah pakaian (45,8%), aksesoris seperti dompet, kacamata, dan jam tangan (10,9%), sepatu (6,7%), tiket perjalanan (4,7%) dan ponsel (4,6%). Ironis, bukan?

Mengapa pemanfaatan e-commerce di Indonesia kurang optimal? Pertama, kurangnya knowledge (pengetahuan) dan skill (keterampilan) para pelaku UMKM terhadap pentingnya platform e-commerce sebagai sarana pemasaran, promosi dan pembayaran yang efektif.

Saat ini baru 16% UMKM yang memanfaatkan e-commerce, 12% UMKM online, 7% memiliki website sendiri, dan 5% menggunakan medsos.

Dari 59,2 juta UMKM yang ada di Indonesia, baru 3,89 juta atau 8% yang memanfaatkan platform e-commerce. Kontribusi UMKM yang tergabung dengan platform e-commerce di Indonesia masih di bawah 8% dari total pasar e-commerce, sisanya adalah trader yang menjual barang dari produsen besar di luar negeri seperti Tiongkok.

Kontribusi produk-produk buatan Indonesia yang dijual di platform e-commerce tidak sampai 10%. Sebagian besar produk yang diperdagangkan masih didominasi produk luar negeri, terutama Tiongkok.

Padahal, pemerintah telah memasang target untuk tahun 2020, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, menciptakan 1.000 technopreneurs dengan valuasi nilai bisnis US$ 10 miliar atau Rp 130 triliun, dan 80% produk yang dijual di e-commerce Indonesia adalah produk-roduk hasil UMKM lokal.

Untuk mencapai target itu, pemerintah telah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi XIV tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Berbasis Elektronik, dan Peraturan Presiden (Perpres) No 74/2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019.

Akankah semua itu sekadar mimpi? Bisa jadi, bila kita tidak segera mengoptimalkan peran UMKM. Pemanfaatan teknologi untuk UKM akan menciptakan pembangunan yang inklusif yang melibatkan tidak hanya 20% masyarakat melainkan juga 80% lainnya.

Karena UMKM berbasis di desa, maka sebenarnya masa depan perekonomian Indonesia pun ada di desa. Anak-anak muda harus berhenti berurbanisasi, dan mulai menggeluti bisnis UMKM berbasis e-commerce di desa, mengingat penggunaan internet di pedesaan juga sangat masif.

Pendek kata, pemerintah harus mendorong tumbuhnya produk-produk lokal melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak pada UMKM, dan menciptakan iklim yang kondusif untuk berwirausaha. Di sisi lain, pemerintah harus menciptakan infrastruktur bagi berkembangnya e-commerce dan market place.

Tidak itu saja, pilar-pilar wirausaha harus terus berkoordinasi, yakni pemerintah, pengusaha, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi. Lembaga penelitian dan perguruan tinggi adalah tempat berkembangnya ilmu dan penemuan-penemuan baru.

Dengan adanya riset yang terarah (sesuai yang dibutuhkan dunia bisnis), dan pengetahuan yang berkembang yang dibutuhkan dunia industri, maka Indonesia bisa membuat trend.

Ada adagium, bila mau menguasai suatu bangsa, maka kuasailah ekonominya. Bila kita tak mau dikuasai bangsa lain, maka ketahanan ekonomi mesti dibangun, salah satunya adalah dengan membangun e-commerce dan market place, karena masa depan perekonomian Indonesia terletak pada e-commerce dan market place tersebut.

Dr Wisnu Sakti Dewobroto MSc: Kepala Inkubator Bisnis Universitas Agung Podomoro / Direktur Kebijakan Publik TDA.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas