Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Wiku Adisasmito: Deforestasi Merupakan Isu Sensitif yang Berkorelasi Dengan Politik dan Ekonomi
ASIA TENGGARA disebut sebagai wilayah dengan hilangnya habitat tercepat di dunia (Duckworth, 2012). Deforestasi adalah perubahan permanen area hutan
Editor: Toni Bramantoro
ASIA TENGGARA disebut sebagai wilayah dengan hilangnya habitat tercepat di dunia (Duckworth, 2012). Deforestasi adalah perubahan permanen area hutan menjadi non-hutan akibat dari aktivitas manusia.
Hutan Indonesia mewakili sekitar 44% luas hutan di wilayah Asia Tenggara yang terus menghadapi peningkatan deforestasi (Abood, 2015). Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK, 2018), meskipun mengalami penurunan yang signifikan sejak tahun 2014, deforestasi di Indonesia masih terus berlanjut hingga saat ini.
Greenpeace menyebutkan bahwa industri kelapa sawit dan kertas merupakan pemicu meningkatnya laju deforestasi di Indonesia.
Riset Disease Emergence and Economics Evaluation of Altered Landscapes (DEAL) merupakan kerjasama antara Indonesia One Health University Network (INDOHUN) dan USAID dalam upaya meringankan dampak negatif akibat perubahan lahan yang mungkin terjadi pada rakyat Indonesia.
Para pemangku kebijakan perlu menyadari bahwa pentingnya keseimbangan antara aktivitas ekonomi dengan keadaan lingkungan sehingga meminimalisir kerugian dalam bidang kesehatan maupun ekosistem.
Prof Wiku Adisasmito selaku Guru Besar Fakultas Kesehatan Indonesia menyebutkan bahwa deforestasi merupakan isu sensitif yang berkorelasi dengan faktor politik dan ekonomi. Hal ini menyebabkan penelitian terkait deforestasi seringkali ditumpangi oleh berbagai kepentingan.
Oleh sebab itu diperlukan riset yang objektif terkait isu sensitif ini sehubungan dengan keterkaitannya dengan kesehatan masyarakat, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi, agar pemanfaatan perubahan lahan dapat dilakukan secara bertanggungjawab dan tidak merugikan masyarakat secara umum.
Proyek DEAL dilakukan di tiga wilayah di Indonesia, yaitu Riau, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Data luas tutupan lahan di peroleh dari dalam bentuk data spatial dari tahun 1990, 1996, 2000, 2003, 2006, 2009, 2011, 2012, 2013, 2014 dan 2015. Data tsb diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutatanan Data.
Berdasarkan hasil penelitian DEAL, di Provinsi Riau total luas tutupan lahan berkisar 8.97 juta hektar. Dari tahun 1990 luas tutupan hutan primer dan sekunder adalah masing-masing 4% dan 58.4% dari luas tutupan lahan stb.
Di Riau hutan sekunder mengalami penurunan luas lahan yang terbesar selama 25 tahun periode, di tahun 2015 luas tutupan hutan sekunder hanya sekitar 15.68% dari luas tutupan lahan.
Luas tutupan lahan perkebunan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 10.3% di tahun 1990 menjadi sekitar 32.1% di tahun 2015. Perkebunan kelapa sawit berskala besar maupun kecil di Indonesia bertanggung jawab atas 85% deforestasi hutan (Uryu dkk, 2008).
Deforestasi di Provinsi Papua Barat mengalami kenaikan yang cukup signifikan sejak tahun 1990-1996 hingga tahun 1996-2000, terhitung sebesar 11372, 99 hektar. Luas tutupan lahan di Papua Barat sekitar 9.78 juta hektar.
Tutupan hutan primer di kawasan Papua Barat juga mengalami penurunan secara bertahap dari 80% menjadi 67% pada tahun 2003, dan terus menurun menjadi 60% pada tahun 2015. Industri kayu, kelapa sawit, dan pertambangan diduga sebagai kontributor meningkatnya deforestasi yang terjadi di Papua Barat.
Sebaliknya, deforestasi di Provinsi Kalimantan Timur terutama dipicu oleh menjamurnya perkebunan tanaman komersial, pertambangan emas dan pertambangan batubara. Luas tutupan lahan di Provinsi Kalimantan Timur adalah 12.65 juta hektar.
Pada tahun 1990 tutupan hutan di Kalimantan Timur diperhitungkan sebesar 68% dari total tutupan lahan yang terdiri dari 25% hutan primer, 40% hutan sekunder dan hampir 2% hutan tanaman.
Dalam 25 tahun terakhir, tutupan hutan sekunder di Kalimantan Timur terus menurun dari sekitar 40% total lahan, menjadi 35% pada tahun 2015, sedangkan dari tahun 1990 hingga 2015, tutupan hutan tanaman meningkat dari 1,95% menjadi hampir 3%.
Selain itu di Kalimantan Timur ada peningkatan luas tutupan dari belukar, sekitar hamper 23% dari total luas lahan di tahun 2015. Penelitian menyebutkan ada tendensi lahan hutan di ubah menjadi belukar sebleum dijadikan areal perkebunan atau pertambangan.
Dengan adanya proyek penelitian DEAL ini diharapkan bisa memberikan gambaran keadaan luas tutupan lahan dan hutan di Indonesia serta memberikan rekomendasi terhadap kebijakan perubahan penggunaan lahan.