Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Patahnya Jurus Ampuh
Kajian ini sebenarnya mengulang ungkapan tiga tahun lalu dan sekitar enam bulan lalu di tempat yang sama.
Editor: Rachmat Hidayat
Berjalannya Program Keluarga Harapan dan transfer tunai bersyarat melalui Kartu Indonesia Sejahtera, tersalurkannya beras sejahtera, serta transfer dana ke daerah dan desa yang mencapai Rp766,16 triliun.
Alokasi pembiayaan dari APBN ini yang menyebabkan inflasi karena barang impor (cost push inflation) tidak melonjak.
Namun harus diperhatikan, bagaimana neraca PT Pertamina dan PLN ? Dihentikannya proyek 35 GW, surat Menteri Keuangan kepada PLN, kenaikan tarif listrik dan membesarnya kerugian Pertamina membuktikan, jatuhnya nilai tukar telah memperbesar kerugian dua BUMN ini.
Indikator lain, harga mobil dan motor serta barang elektronik pun merangkak naik.
Tentu berbagai kebijakan telah diambil seperti menaikkan tarif impor, menganjurkan agar hasil devisa ekspor disimpan di dalam negeri, menaikkan suku bunga, mengurangi perjalanan ke luar negeri, mendorong penggunaan bio fuel (B20).
Sebelumnya, Indonesia gemar mengimpor pangan dan pasokan bahan bakar tergantung pada asing di saat utang luar negeri terus meningkat serta SBN dikuasai asing 40% walau terus menurun sejalan dengan naiknya fed fund rate. Kegandrungan impor dan kegemaran pada kehadiran investasi portofolio diikuti dengan empat jenis defisit itu yang membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani jujur bahwa perekonomian Indonesia memang rentan.
Defisit neraca berjalan itu yang membuat ketidak percayaan melebar. Sementara BI tetap percaya diri bahwa instrumen moneter mampu menahan laju penurunan nilai tukar. Menkeu Sri Mulyani bahkan menganjurkan kepada wartawan, jangan terlalu banyak minum kopi. Anjuran ini tentu mempunyai makna pesan khusus.
Jika memperhatikan data nilai tukar sejak 1964 hingga saat ini yang saya distribusikan kepada ratusan jurnalis, struktur kepemilikan saham pihak asing pada perbankan nasional yang dominan, kepemilikan asing pada pertambangan dan perminyakan.
Dan penguasaan swasta atas distribusi barang dan sistem pembayaran juga berlanjutnya kondisi deindustrialisasi, maka sulit disangkal bahwa patahnya jurus ampuh otoritas fiskal dan moneter disebabkan kuatnya posisi asing mendominasi struktur perekonomian nasional.
Data tentang itu sudah saya distribusikan kepada Komisi XI dan Komisi VI DPR-RI, ke Mahkamah Konstitusi sejak saya menjadi saksi ahli dalam menggugat UU Kelistrikan pada Desember 2004, dan ke berbagai instasi lain.
Data ini terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan. Ironinya, para pemegang otoritas pada masing-masing wilayah kekuasaan seakan tak mampu menyelesaikan akar masalah. Hal ini pun pernah saya sampaikan pada April 2015 saat sejumlah unsur dan tokoh masyarakat berniat menggugat UU 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Dua UU ini yang merupakan bagian penting dari akar masalah itu. Selama dua UU ini tetap berlaku dan beberapa UU lain yang menganut liberalisasi keuangan, perbankan dan perdagangan tetap ditegakkan, selama itu jurus ampuh Pemerintah dan BI akan selalu patah. Krisis 3F (food, fuel, financial) akan terus menghantui.
Dalam bahasa yang lain, jika melihat Presiden AS ke-45 Donald Trump melakukan deglobalisasi (bukan anti global), kenapa kita tidak mencoba menoleh ke dalam (inward looking) sambil mengevaluasi, sudahkah kita menegakkan kedaulatan ekonomi bangsa? Bukankah AS merupakan kiblat ekonomi bagi kaum pemuja pasar bebas?