Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Saling Tuding Timses Jokowi-Ma'ruf Amin Prabowo-Sandi dan Wajan Raksasa
Tujuan masing-masing pihak adalah untuk menjadi pemimpin nomor satu di republik ini sehingga bisa membangun Indonesia lebih baik dari saingannya.
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
Artikel ditulis oleh: Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.
TRIBUNNERS - Seorang pembual sedang cerita kepada temannya bahwa dia baru saja memancing dan dapat ikan sebesar perahu nelayan.
“Wah, hebat sekali,” ujar temannya yang mendengar cerita itu.
“Saya jadi ingat bahwa bapak saya pernah diminta orang membuatkan wajan sebesar lapangan bola.”
“Ah, mana ada wajan sebesar lapangan bola. Membual saja engkau!” ujar pembual pertama marah.
“Lho ada,” jawab temannya,
“Kata Bapak wajan sebesar itu dipesan oleh bapakmu untuk menggoreng ikan sebesar perahu nelayan yang baru engkau pancing!”
Pembohong selalu anti dengan pembohong lainnya.
Baca: Jenguk Ratna Sarumpaet, Atiqah Hasiholan Berikan Pesan Ini untuk Sang Ibu selama di Penjara
Mengapa? Paling tidak dua hal.
Pertama, dia terlalu sombong untuk dikalahkan. Gengsinya dijunjung terlalu tinggi.
Kedua, dia tahu persis bahwa orang itu bohong karena dia pun pembohong.
Persis seperti orang sombong yang tidak suka bergaul dengan orang sombong lainnya karena merasa dirinya ditelanjangi di depan cermin.
Hal seperti inilah yang sekarang ramai diberitakan di media sosial.
Saling tuding antar tim pemenangan masing-masing capres-cawapres sudah dalam taraf membuat orang merinding.
Campuran antara geli dan takut.
Geli karena masng-masing timses terdiri dari orang-orang yang berpendidikan.
Takut karena jika dibiarkan, grass root yang sudah kepanasan dipanggang kemarau panjang ini bisa terbakar sewaktu-waktu.
Rumput dan ilalang yang terbakar bisa menghanguskan apa saja yang menjadi penghalang dan penghadang.
Api sekecil apa pun, jika menyambar rerumputan kering, bisa membesar dan membakar hutan. Apalagi kalau ditiup angin kencang.
Dua unsur itu sudah terpenuhi sekarang.
Bukankah saling serang sudah mengarah ke ‘perang’ meskipun baru sebatas di media sosial.
Namun apa yang terjadi dunia maya cepat sekali melompat ke dunia nyata jika ada trigger.
Pemicu itu berupa orang iseng yang suka mengipasi semak yang terbakar. Bisa juga para buzzer berbayar.
Api yang terlanjur membesar sulit sekali untuk dipadamkan.
Ingat film The Truth About Lie? Gilby Smals—yang diperankan dengan apik oleh Fran Kranz—bisa jadi kita sebut pria apes.
Dia bukan saja dipecat dari pekerjaannya, apartemennya terbakar habis dan pacarnya pun memutuskan hubungan secara sadis.
Sudah jatuh, ditimpa tangga, digigit anjing gila. Lengkap sudah penderitaannya.
Ketika dia tertarik dengan gadis sahabatnya yang dia anggap mampu memenuhi semua harapannya, bisa memakai berbagai cara untuk berhasil memenangkan hatinya.
Sayangnya, dia memakai kebohongan demi kebohongan untuk mendongkrak citranya.
Begitu besar kebohongan yang dia ciptakan sehingga bukan saja tidak bisa mundur lagi, melainkan menghancurkan reputasinya sampai titik nadir saat terbongkar.
The Truth About Lies memang sekadar film.
Bukankah film pun adalah sandiwara? Drama pun sering diangkat dari fenomena asli yang terjadi di masyarakat.
Sebagai penonton yang bijak, kita tidak hanya diharapkan terhibur oleh tontonan itu, melainkan mengalami pencerahan. Apa yang bisa kita jadikan cermin dari film ini?
Kontestasi pilpres mendatang sudah dalam taraf point of no return.
Petahana tentu saja ingin mempertahankan—dalam bahasa mulianya—meneruskan karyanya yang baru sebagian jadi.
Sebaliknya, oposisi merasa inilah ‘perang terakhir’ yang harus dimenangkan, karena sudah beberapa kali kalah dalam palagan. Kesempatan ke depan tampaknya tidak ada lagi.
Kompetisi boleh saja keras dan tajam, namun jangan pernah melupakan satu hal ini.
Tujuan masing-masing pihak adalah untuk menjadi pemimpin nomor satu di republik ini sehingga bisa membangun Indonesia lebih baik dari saingannya. Itu saja.
Alangkah bijaknya jika tujuan itu tidak dikotori oleh praktik yang justru memporak-porandakan bangsa dengan saling tuding, saling hujat dan akhirnya saling sikat.
Adalah tindakan yang menyejukkan jika janji ‘siap kalah dan siap menang’ diwujudkan dengan tindakan merangkul kelompok yang kalah dan mengakomodasi program-program yang dirasa baik untuk kepentingan bersama.
Baca: Namanya Dicatut Dalam Kasus Suap Pejabat Bekasi, Tina Toon Sempat Tulis Soal Hoax
Pilihan boleh beda, tetapi tujuan utama tetap sama: membangun Tanah Air tercinta, siapa pun pemimpin yang terpilih.
Jika Anda setuju dengan cita-cita ini, jangan lagi menggoreng ikan sebesar perahu nelayan di penggorengan raksasa. Wajan sudah mendidih. Sejukkan dengan men-share tulisan yang mendinginkan suasana.
Setuju?