Seminar IKA UNJ : Lawan Hoax Dengan Kecerdasan Berpikir
Maraknya penyebaran hoax dan hate speech secara tidak langsung telah melemahkan sendi-sendi kehidupan bernegara.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maraknya penyebaran hoax dan hate speech secara tidak langsung telah melemahkan sendi-sendi kehidupan bernegara kita. Apalagi di era tahun politik, opini akibat hoax dan hate speech makin menjadi jadi menyerang dua kubu calon Presiden.
“Jika tidak dikelola dengan baik bisa menghancurkan proses demokrasi yang sedang berjalan,” ujar Juri Ardiantoro, Ketua Umum IKA UNJ, ketika membuka seminar memperkuat media sebagai sarana pendidikan: no hoax dan hate speech, di Jakarta, selasa, (18/12/2018).
Hadir sebagai pembicara Stanley Adi Prasetyo Ketua Dewan Pers Indonesia, Yuliandre Darwis PhD Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, dan praktisi media Dr Rahmat Edi Irawan Wakil Pemimpin Redaksi Net TV, serta dimoderatori oleh Erlinda mantan Sekjen KPAI yang juga alumni UNJ.
Dalam menghadapi maraknya hoax dan hate speech, universitas dan civitas akademika punya tanggung jawab untuk tetap menjaga nalar dan akal budi di tengah hiruk pikuk hoax dan hate speech.
“Karena di Perguruan Tinggi tempat segala persoalan dikaji dan diuji secara jernih dengan kaidah ilmiah" tutur Edy Budiyarso, ketua panitia.
Yuliandre menyebutkan maraknya hoax dan hate speech, tidak ditopang oleh budaya literasi yang baik inilah yang berbahaya.
"Indonesia kategori dengan literasi rendah di dunia," katanya.
KPI sebagai regulator bidang penyiaran pun tidak lepas dari hoax. Dalam kasus pelarangan iklan shopee yang menampilkan bintang K-Pop Blackpink kami diserang tudingan hanya membolehkan iklan syariah.
"Sampai media asing menanyakan hal ini. Kami jelaskan saja, ini bukan karena ada petisi, tetapi karena kami kaji tidak pantas di jam siaran anak-anak", katanya.
Yosep Adi Prasetyo Ketua Dewan Pers mengamini situasi seperti itu. "Hoax dibuat oleh orang pintar, dan disebarkan oleh orang baik tapi bodoh," katanya.
Hoax telah menjungkirbalikan kepercayaan kepada lembaga resmi dan kredibel. Akibatnya situasi distrush terjadi di mana-mana. Inilah yang menjadi tugas berat Dewan Pers untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga pers yang kredibel.
"Lawan kami adalah pers penyebar sara, penyebar kebencian, dan buzer-buzer. Ciri hoax membuat rasa takut, tidak jelas media dan narasumbernya," ujar Stanley panggilan Adi Prasetyo.
Pengalaman di media mainstream seperti dikatakan oleh Rahmat Edi Irawan memang tidak se power full di masa lalu. Media sosial juga menjadi pesaing utama, masalahnya media sosial dipenuhi hoax.
"Hoax bagi media adalah informasi yang belum selesai, tetapi keburu disebarluaskan," kata Wakil Pemimpin Redaksi Net TV ini.
Baca: Ada Pergeseran, Media Mainstream Bisa Sebarkan Hoax dari Media Sosial
Baca: Ketua PGK: Melek Literasi Sangat Penting Bagi Anak Muda dalam Menangkal Hoax