Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Waspada Bakteri E.coli Resisten Antibiotika pada Ayam Potong
Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap ayam broiler atau ayam potong yang biasa dijual sehari-hari di pasar tradisional atau modern memang luar biasa
Editor: Toni Bramantoro
Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap ayam broiler atau ayam potong yang biasa dijual sehari-hari di pasar tradisional atau modern memang luar biasa tinggi.
Namun, nyaris luput dari perhatian bahaya yang mengancam di balik nikmatnya mengomsumsi ayam yang rata-rata dipanen saat berusia 45-50 hari tersebut.
Hasil penelitian yang dilakukan bersama oleh Indonesia One Health University Network (INDOHUN), Udayana One Health Collaborating Center (Udayana OHCC), dan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, pada Desember 2018 lalu, telah ditemukan bakteri Escherichia Coli yang terisolasi pada daging ayam broiler yang banyak dikonsumsi masyarakat.
Hasil penelitian juga menunjukkan peningkatan kekebalan lebih dari 90% setidaknya terhadap 3 jenis antibiotik dari 11 yang diujikan.
Tiga jenis antibiotik tersebut adalah ampisilin, amoksisilin dan eritromisin. Sedangkan terhadap asam nalidiksat, antibiotik yang sering digunakan untuk terapi infeksi saluran kencing pada manusia, telah terjadi peningkatan kekebalan hingga 50%.
Masalahnya, antibiotik-antibiotik tersebut merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan pada masyarakat dan sering bisa dibeli tanpa resep dokter.
“Yang paling mencemaskan dari hasil penelitian tersebut adalah mulai ditemukan 2,4% bakteri E.coli yang kebal terhadap antibiotik golongan sefalosporin. Bakteri ini akan menghasilkan enzim yang mampu menetralkan semua antibiotik golongan sefalosporin,” jelas dr. Ni Nyoman Sri Budayanti selaku anggota peneliti perwakilan Udayana OHCC.
Antibiotik sefalosporin merupakan antibiotik terbanyak digunakan di rumah sakit di Indonesia. Bakteri yang telah kebal terhadap antibiotik ini umumnya akan mudah memicu kekebalan terhadap antibiotik lainnya seperti antibiotik golongan kuinolon (siprofloksasin, levofloksasin) yang merupakan salah satu antibiotik utama pengobatan pasien yang dirawat di rumah sakit.
Penemuan adanya bakteri multi resisten pada daging ayam broiler yang dijual di pasar tradisional ataupun modern tentu menimbulkan kecemasan karena bakteri-bakteri tersebut dapat berpindah kepada manusia selama proses penanganan daging ayam untuk dikonsumsi. Tidak menutup kemungkinan manusia akan terinfeksi oleh bakteri multi resisten dari daging ayam tersebut.
Kondisi peningkatan kekebalan terhadap antibiotik dikenal dengan istilah Antimicrobial Resistance (AMR). Saat ini AMR menjadi ancaman serius dalam bidang kesehatan di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Penderita terinfeksi bakteri multiresisten akan menyulitkan pengobatan karena saat ini tidak banyak ditemukan antibiotik baru di dunia.
Akibat lebih lanjut adalah biaya perawatan pasien meningkat karena waktu perawatan yang lebih lama serta jenis antibiotik yang digunakan akan lebih mahal dan sering kali membutuhkan kombinasi beberapa antibiotik untuk mengatasi infeksi.
Begitu juga dengan angka kematian akan meningkat karena terkadang tidak ada lagi antibiotik yang dapat digunakan. Bakteri-bakteri tersebut tak jarang pula masih peka terhadap satu jenis antibiotik, tetapi antibiotik tersebut tidak tersedia di Indonesia.
Pengobatan pasien terinfeksi bakteri multi resisten, tidak hanya menjadi beban individu tapi negara juga akan menanggung bebannya melalui klaim BPJS yang saat ini total terus merugi.
Dilansir dari berbagai media berita, pada tahun 2018 BPJS mengalami defisit sebesar 16,5 triliun. Jika AMR tidak dicegah dari kolaborasi antar institusi penelitian, kesehatan, dan pembuat kebijakan, maka negara akan membuang-buang uang untuk sesuatu yang sia-sia dan sebenarnya dapat dihindari sejak dini.
“Butuh komitmen serius dari Pemerintah karena dalam menangani AMR ini tidak hanya sekali waktu saja tapi harus berkelanjutan. Tindakan tegasnya adalah dengan regulasi penggunaan antibiotik untuk pertumbuhan hewan ternak. Jika tidak segera ditangani, dampaknya akan terjadi resistensi antimikroba pada manusia dan dampak buruknya juga akan berkelanjutan," urai ketua peneliti yaitu Prof drh. Wiku Adisasmito, PhD, MSc yang juga merupakan Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dan Koordinator Indonesia One Health University Network (INDOHUN).