Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Kebenaran dan Sikap
Sesuai Naskah Akademik RUU Penghapusan-Kekerasan Seksual, RUU Penghapusan Kekerasan seksual diusulkan dalam Prolegnas sejak tahun 2014
Penulis: Tati, S.Pd
Editor: Arif Setyabudi Santoso
Tinjauan Kronologis
Sesuai Naskah Akademik RUU Penghapusan-Kekerasan Seksual, RUU Penghapusan Kekerasan seksual diusulkan dalam Prolegnas sejak tahun 2014 melalui berbagai dialog baik dengan Pemerintah, DPR RI, maupun DPD RI. Namun, baru pada tahun 2016 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam daftar Penambahan Prolegnas 2015-2019, sebagai hasil rapat bersama antara DPR RI, DPD RI dan Pemerintah pada bulan Januari 2016. Naskah disusun oleh Komnas Perempuan bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan (FPL), yang merupakan mitra Komnas Perempuan yang terdiri dari 98 lembaga yang tersebar di 28 Provinsi di Indonesia.
Mengapa kemudian RUU ini muncul, tentu karena banyak faktor yg melatarbelakanginya, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus kekerasan seksual yang dilaporkan meningkat setiap tahunnya, bahkan pada 2012 meningkat 181% dari tahun sebelumnya. Dalam 3 tahun terakhir, (2013–2015) kasus kekerasan seksual berjumlah rata-rata 298.224 per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa segala bentuk kekerasan seksual terus meningkat dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus dihapus oleh Negara.
Kekerasan seksual di Indonesia menjadi persoalan serius, sementara negara belum serius menyikapi hal ini. Mengapa demikian? Tentu tidak lepas dari kondisi sosiologis-historis. Pola pikir patriarkal di antara pelaku dan korban bahkan para penegak hukum yang menganggap ini bukanlah persoalan serius, permasalahan seksual menjadi wajar dan abai di tengah pergaulan bebas versi mileneal. Sisi lain, persoalan paradigma kesetaraan di beberapa kelompok atau ruang masyarakat belum selesai. Laki-laki sering dianggap wajar dengan seksualitasnya sedang perempuan sering dianggap tabu dan dibatasi dengan menyoal busananya. Hegemonitas maskulin masih menjangkit dibeberapa kelompok masyarakat.
Selama ini penegakan hukum yang menyoal kekerasan seksual masih sama-sama kita pertanyakan prakteknya. Korban kekerasan seksual, yang kebanyakan adalah perempuan dan anak, harus mendapat perlindungan dan pemulihan dari Negara, termasuk agar korban pulih dari kekerasan seksual yang dialaminya.
Payung (red-regulasi) hukum tentang kekerasan seksual ini sebelumnya sudah termuat dalam UU Penghapusan Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun implikasinya yang perlu dipertanyakan, banyak kasus yang berujung damai karena kekhawatiran akan banyak hal misalnya kondisi psikis korban dan dampak lain dari mempidanakan pelaku.
Ketika sudah ada payung hukum, maka sebaiknya memaksimalkan dan tidak perlu ada RUU. Lagi, menurut Naskah Akademik RUU Penghapusan-Kekerasan Seksual, mereka (red-pembuat Naskah Akademik RUU) ingin membangun kondisi yang kondusif melalui pasal-pasal yang ada di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini tentunya dengan merujuk pada pembelajaran payung hukum sebelumnya. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya perombakan sistem hukum untuk mengatasi kekerasan seksual yang sistemik.
Sebelumnya Hukum acara pidana yang hanya menegaskan perlindungan terhadap hak-hak tersangka telah meminggirkan perlindungan dan rasa keadilan korban. Terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diproses hukum, sehingga pelaku tidak dapat dijerat dan kekerasan seksual terus berulang. Keterbatasan payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual ini memprihatinkan. Dalam KUHP, kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan semata. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan terobosan agar hukum mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan korban kekerasan seksual.
Pembaruan hukum tersebut diwujudkan secara menyeluruh, yang meliputi pengaturan tentang pencegahan terjadinya kekerasan seksual; bentuk-bentuk kekerasan seksual; hak korban, termasuk pemulihan; hukum acara peradilan pidana kekerasan seksual, termasuk tentang pembuktian; pemantauan penghapusan kekerasan seksual; dan pemidanaan. Selain itu yang terpenting dilakukan adalah bagaimana RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi korban dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang.
Pro-Kontra Masyarakat
Menyoal pro kontra masyarakat ini tidak lepas dari kondisi sosial-politik di Indonesia. Pengaruh politik elektoral, dan keberpihakan menjadi faktor dominan untuk membentuk konstruk atau cara pandang masyarakat dalam menentukan trust di era yg serba instan ini. Tidak sedikit netizen yang hanya mau mendengarkan ungkapan-ungkapan via youtube, televisi tanpa membaca ulasan-ulasan pakar, tokoh atau pegiat sosial lainnya yang selama ini konsentrasi terhadap permasalahan kekerasan seksual. Sisi lain, masyarakat dengan kultur kelompok yang berbeda juga mempengaruhi cara pandangnya masing-masing dalam menyikapi isu ini.
Kemudian apa yang terjadi? Ini yang kemudian oleh Asma Nadia seorang tokoh perempuan yang konsentrasi menulis buku-buku perempuan dengan maksud menyuarakan aspirasi korban kekerasan perempuan melalui kolom republika, disebut sebagai miskomunikasi dan misinterpretasi.
Banyak petisi penandatanganan pro dan kontra, juga yang beranggapan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mendukung zina dan free-sex. Mari kita telaah kembali sesuai Naskah Akademik aslinya, karena memang yang penulis temukan tidak hanya satu draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tapi ada draft Penghapusan Kekerasan Seksual lain yang berlainan konten. Setelah saya baca di beberapa pasal, tidak ada pasal yang menyebutkan membolehkan zina, free-sex dan sejenisnya. Zina dan free sex bukan termasuk kedalam lingkup kekerasan dan tidak disinggung dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini untuk kekerasan seksual.
Hal lain, dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut tidak dibahas aborsi sukarela, tetapi dibahas aborsi dengan paksaan. Karena, spesialisasi undang-undang membahas yang berhubungan dengan pemaksaan. Sementara itu, aborsi sukarela dibahas dalam UU Kesehatan. Oleh Asma Nadia juga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut pun tidak membahas perzinaan sukarela, tetapi perzinaan dengan unsur paksaan. Sekali lagi, karena ini UU kekerasan seksual, jadi yang sukarela dibahas dalam aturan lain.
Menyoal jumlah pasal dalam RUU ;Penghapusan Kekerasan Seksual, tidak ada pemotongan dan pengurangan pasal sebagaimana informasi yang beredar. Sesuai Naskah Akademik RUU Penghapusan-Kekerasan Seksual, RUU Penghapusan Kekerasan seksual terdapat 6 BAB, 184 Pasal dan tidak ada pemangkasan. Namun masih dalam penundaan pembahasan, sebab pro-kontra persetujuan didalam fraksi belum selesai, alasan lain karena parlemen sibuk dengan mempersiapkan pemenangan Pemilu 5 Kotak April mendatang.
Juga RUU Penghapusan-Kekerasan Seksual ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, Naskah yang disusun oleh Komnas Perempuan bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan (FPL), yang merupakan mitra Komnas Perempuan yang terdiri dari 98 lembaga yang tersebar di 28 Provinsi di Indonesia tidak serta merta muncul tanpa diskusi dan dialektika yang panjang. Islam mendorong penghapusan kekerasan seksual, baik secara legal maupun secara non-legal untuk melindungi nasab dan diri korban itu sendiri.
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia menegaskan bahwa pendekatan maqasid mungkin akan membantu kita untuk merevitalisasi argumen-argumen Islam untuk penghapusan kekerasan seksual. Konsepsi Muhafazhah ala al-nafs bisa diartikan melindungi diri dari segala macam bentuk bahaya. Termasuk, dalam hal ini, bahaya yang terkait dengan kekerasan seksual. Konsekuensi lain adalah melindungi keturunan dari bahaya-bahaya serupa.
Bagaimana seharusnya bersikap?
Dari sisi suprastruktur, Pemerintah perlu dengan segera memberikan informasi yang jelas agar tidak disinformasi di berbagai kelompok masyarakat menyoal keberlanjutan RUU Penghapusan-Kekerasan Seksual. Disamping persoalan Internal (pro-kontra fraksi) yang belum selesai dan berdampak pada pro-kontra masyarakat. Pemerintah jangan sampai lalai dalam melindungi masyarakatnya.
Menyoal nbsp;RUU Penghapusan-Kekerasan Seksual, pemerintah perlu mengkaji ulang pasal demi pasal bersama pegiat, tokoh, akademisi, dan lembaga lainnya yang konsentrasi dengan permasalahan kekerasan seksual. Tujuannya agar memobilitas payung hukum sebelumnya mengenai kekerasan seksual, serta menghindari pasal yang ambigu atau multitafsir.
Dari sisi infrasturktur, sebagai organisasi masyarakat atau pegiat sosial. Kita perlu menelaah kembali dengan seksama dan detail menyoal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini. Mempedomani ungkapan, ulasan, uraian tulisan dari organisasi masyarakat/organisasi perempuan/organisasi islam lainnya, tokoh terkemuka yang konsentrasi dengan permasalahan ini. Bersikap bijak dalam memfilter informasi yang masuk. Bagi yang sebelumnya belum membawa wacana ini di organisasinya, mari untuk memulai mewacanakan. Persoalan kekerasan seksual merupakan persoalan kemanusiaan yang menjadi tanggungjawab bersama. Banyak kasus kekerasan seksual di sekitar kita banyak pula yang tidak terakomodir oleh negara dan LSM lainnya.
Oleh Immawati Tati
(Ketua DPD IMM DIY Bid. Immawati)