Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Narkotika, Seksualitas dan Kekuasaan
Mungkinkah karena pamornya mulai meredup lalu terjangkit “post power syndrome” sehingga ia mengonsumsi narkotika? Bisa jadi.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Narkotika, seksualitas dan kekuasaan adalah tiga ranah yang berbeda. Namun ketiganya akan dipertemukan dalam satu muara: memabukkan!
Efek dari mengonsumsi narkotika adalah “fly” (melayang) dan berhalusinasi atau dalam bahasa awam disebut mabuk.
Orang yang sedang jatuh cinta juga serasa mabuk. Tidak heran bila ada istilah “mabuk kepayang” bagi orang yang sedang jatuh cinta.
Muara dari cinta adalah seksualitas yang lazimnya didahului dengan pernikahan. Kekuasaan, baik politik atau pun uang, juga memabukkan.
Tertangkapnya Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief usai mengonsumsi narkotika jenis sabu di sebuah hotel di Jakarta, Minggu (3/3/2019), dapat menjelaskan hubungan tali-temali antara narkotika, seksualitas dan kekuasaan yang muaranya sama: memabukkan!
Baca: Andi Arief Terjerat Narkoba, Demokrat dan Fadli Zon Yakin Tak Pengaruhi Elektabilitas Prabowo-Sandi
Dari rumor dan foto yang beredar di media sosial, Andi Arief ditangkap bersama seorang perempuan yang diduga bukan istri resminya, dan di tempat kejadian perkara ditemukan sebungkus alat kontrasepsi yang belum dipakai.
Namun, rumor dan foto tersebut dibantah Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal M Iqbal dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (4/3/2019).
Terlepas rumor dan foto yang beredar itu benar atau tidak, bila ada politisi mengonsumsi narkoba ditemani perempuan di kamar hotel, maka terbuktilah hubungan yang erat antara narkotika, seksualitas dan kekuasaan.
Politisi punya kekuatan dan kekuasaan, dan kekuasaan politik identik dengan sumber daya uang.
Dengan kekuasaan itu, politisi bisa membeli narkotika. Dengan kekuasaan itu, politisi bisa “membeli” cinta seorang perempuan.
Ada adagium, perempuan memberikan seks untuk mendapatkan cinta, laki-laki memberikan cinta untuk mendapatkan seks.
Mampu menguasai perempuan dalam hal seksualitas merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang laki-laki, dan mampu pula memenuhi ego seorang laki-laki. Di sinilah kekuasaan lagi-lagi bicara.
Politik adalah dunia yang keras. Untuk mengimbanginya, maka banyak politisi mencari pelarian ke hiburan malam, dan hiburan malam identik dengan perempuan (seksualitas) dan narkotika.
Bagi mereka yang karier politiknya mulai meredup, dan mulai terjangkit “post power syndrome”, dunia hiburan malam juga sering kali menjadi tempat pelarian, dan sekali lagi, hiburan malam identik dengan perempuan (seksualitas) dan narkotika.
Dengan narkotika dan seksualitas, seorang politisi kembali merasa pulih kekuatannya.
Itulah, mengapa kemudian banyak politisi terjerat kasus narkotika. Andi Arief bukan politisi pertama yang ditangkap polisi karena diduga mengonsumsi narkotika. Ada mantan Bupati Ogan Ilir sekaligus politikus Partai Golkar Ahmad Wazir Noviadi Mawardi (2016), anggota DPRD Kabupaten Tabanan, Bali, I Nyoman Wirama Putra (2017), politikus Partai Golkar Indra J Piliang (2017), dan Ketua DPD PAN Jambi berinisial HZ (2018).
Lalu, mantan Wakil Ketua DPRD Bali dan politikus Partai Gerindra Jro Gede Komang Swastika (2018), kader Partai Nasdem Ibrahim Hasan (2018), anggota DPRD Kabupaten Gorontalo dari Partai Golkar Amin Mootalu (2018), dan mantan Ketua DPRD Kabupaten Buton Selatan dari PAN, La Usman (2018).
Kembali ke Andi Arief, ia bukanlah politisi yang tak berkarakter. Sebagai mantan ativis 1998 yang gigih menentang kekuasaan otoriter rezim Orde Baru, karakternya sebagai sosok yang berintegritas bahkan sangat kuat. Jeruji penjara tak mampu membuat dia menyerah.
Namun, mengapa kini ia terjerumus ke dalam lembah hitam narkotika, bahkan mungkin seksualitas yang tak bernorma? Jawabnya: kekuasaan!
Mungkinkah karena pamornya mulai meredup lalu terjangkit “post power syndrome” sehingga ia mengonsumsi narkotika? Bisa jadi.
Lalu, sejak kapan mantan Staf Khusus Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono itu mengonsumsi narkotika? Bila menilik pesan “terselubung” mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD kepada Andi Arief di akun Twitter-nya pertengahan Januari 2019, mungkin pada Minggu nahas itu bukan pertama kali ia mengonsumsi narkotika.
Belakangan, Andi Arief memang berubah menjadi sosok politisi yang kontroversial. Ia, misalnya, menyerang calon presiden Prabowo Subianto sebagai “jenderal kardus” karena tidak memilih Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon wakil presiden, dan lebih memilih Sandiaga Uno yang ia duga telah memberi “mahar” PAN dan PKS masing-masing Rp 500 miliar.
Andi juga diduga turut menyebar berita bohong atau hoaks soal tujuh kontainer surat suara Pemilu Presiden 2019 yang sudah dicoblos di Pelabuhan Tanjung Priok.
Apakah itu semua terjadi karena pengaruh narkotika pada diri Andi Arief? Biarlah waktu yang menjawab.
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Politisi/mantan Anggota DPR RI.