Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Fahri Bachmid Dorong Amandemen Kelima UUD 1945
Dalam penelitiannya, kedudukan presiden sangat vital menentukan perjalanan bangsa ke depan, termasuk kehidupan ketatanegaraannya.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia ( Peradi) Kota Ambon, Dr Fahri Bachmid SH MH mendorong segera dilakukan amandemen ke-5 Konstitusi Undang-undang ( UUD) Negara Republik Indonesia ( NKRI) 1945 untuk penataan mekanisme pemakzulan atau pemberhentian Presiden Republik Indonesia.
Hal ini dia sampaikan juga dalam disertasinya yang berjudul Hakikat Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Fahri Bachmid menyampaikan disertasi ini di kampus Program Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI), Jl Urip Sumoharjo, Makassar, Sulsel, Selasa (5/3/2019), sebagaimana siaran persnya, Senin (11/3/2019).
Dalam penelitiannya, kedudukan presiden sangat vital menentukan perjalanan bangsa ke depan, termasuk kehidupan ketatanegaraannya.
Baca: Ria Ricis Minta Dicarikan Jodoh sama Netizen karena Ingin Cepat Nikah
Kekuasaan presiden baik secara atributif maupun derivatif punya kekuasaan tunggal dan posisi kuat sehingga untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan pemerintahan harus ada mekanisme koreksi demi terciptanya pemerintahan yang demokratis.
Baca: Catatan Persib Bandung di Turnamen Pramusim pada 2015-2019, Sempat Jadi Juara, Kini Gagal Total
"Pengalaman pemakzulan atas Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid ternyata mengandung banyak kelemahan terutama bersumber dari konstitusi yang belum mengatur secara jelas mengenai mekanisme pemakzulan-termasuk perbuatan yang dapat mengakibatkan seorang presiden dimakzulkan," katanya.
Menurutnya, pemakzulan Soekarno dan Abdulrahman Wahid lebih kental nuansa politik ketimbang hukum.
"Saat itu, tak ada bentuk hukum serta mekanisme ketatanegaraan yang jelas untuk memberhentikan Presiden," katanya.
Saat ini, memang sudah ada mekanisme untuk memberhentikan presiden, tapi dia menganggap masih ada kelemahan-kelemahan yang cukup mendasar serta prinsip, yang berkaitan dengan kaidah-kaidah pemberhentian dengan segala implikasi yuridisnya.
"Kelemahannya yakni pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden RI hanya menjadikan Mahkamah Konstitusi (MK) di posisi tengah, bukan penentu. Menurut saya MK harus menjadi lembaga pemutus akhir dan final serta mempunyai daya laku dan mengikat kepada lembaga negara lainya yang harus diikuti oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)," katanya.
Berdasarkan desain konstitusional saat ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B serta ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 kata Penasihat Hukum Gubernur Maluku ini, Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa memberhentikan presiden, tetapi proses pemberhentian kepala negara (presiden) ada di tangan MPR (desecion maker).
Ia pun mencontohkan. "Ketika presiden dinyatakan bersalah oleh MK, tapi dia tak bisa langsung diberhentikan karena pemberhentian itu melalui MPR, di sinikan ada voting, ketika presiden itu menang voting maka tidak jadi diberhentikan," katanya.
Sehingga dia menganggap kelemahan UUD 1945 terletak pada mekanisme pemberhentian Presiden itu,yang mana tidak ada prinsip keseimbangan antara daulat hukum dan daulat rakyat.
Padahal menurutnya, mestinya clear jika proses pemberhentian presiden harus mengutamakan prinsip kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bukan supremasi politik.
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)