Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Bagaimana Me-marketing-kan Pancasila

Ada tiga alasan yang menyebabkan penurunan pendukung Pancasila ini. Pertama, karena adanya ketimpangan ekonomi.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Bagaimana Me-marketing-kan Pancasila
Istimewa
Founder Generasi Literat, Milastri Muzakkar. 

Oleh: Milastri Muzakkar
Founder Generasi Literat

"KITA telah membentuk Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) untuk mengedukasi nilai-nilai Pancasila. Tapi yah, harus kekinian."

Begitu kutipan calon presiden 01, Joko Widodo, dalam debat keempat dengan tema ideologi, Minggu (30/3/2019).

Pernyataan Jokowi ini cukup menarik.

Paling tidak, akan mengingatkan kita bahwa salah satu upaya pemerintah untuk mengedukasi nilai-nilai Pancasila adalah membuat lembaga khusus, BPIP.

Namun membuat lembaga saja tidak cukup.

Yang terpenting bagaimana strategi yang kreatif dan efektif dalam menyampaikan nilai Pancasila, sehingga bisa menyentuh masyarakat lintas generasi.

Pertanyaannya, sudahkah kerja-kerja BPIP efektif dalam mengedukasi nilai Pancasila?

Berita Rekomendasi

Pendukung Pancasila Menurun
Menurut penelitian yang dirilis oleh LSI Denny JA pada Juli 2018, dalam kurun waktu 13 tahun, warga yang mendukung Pancasila menurun sampai 10 persen (dari 85,2 persen menjadi 75,3 persen).

Ada tiga alasan yang menyebabkan penurunan pendukung Pancasila ini.

Pertama, karena adanya ketimpangan ekonomi.

Masyarakat berpenghasilan rendah dan beragama Islam paling mudah dipengaruhi oleh iming-iming ideologi alternatif.

Kedua, berkembangnya ideologi atau paham lain di luar Pancasila.

Ketiga, kurangnya atau melemahnya "marketing" Pancasila di tengah perkembangan zaman dan trend masa kini (Denny JA, “Rumah Bersama Kita Bernama Indonesia”, 2018).

Penyebab terakhir menjadi konsen saya.

Sebagai salah satu bagian dari generasi milenial, saya setuju bahwa Pancasila sebagai ideologi negara perlu dipromosikan dan dimarketingkan dengan cara-cara yang lebih baru, sesuai dengan spirit generasi zaman now.

Cara-cara semacam penataran P4, seminar resmi di hotel-hotel, dan pembacaan buku pelajaran oleh guru di sekolah, sudah usang.

Alhasil, Pancasila berakhir pada hafalan semata tanpa pemaknaan mendalam, dan tanpa keterampilan praktis bagaimana mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Marketing Pancasila untuk Generasi Milenial
Menurut beberapa penelitian, salah satunya oleh Alvara Institut, menyebutkan bahwa generasi zaman now atau biasa disebut generasi milenial lebih senang melakukan kegiatan yang fun dan sesuai dengan kepentingannya.

Sehingga cara me"marketing"kan Pancasila mestinya menggunakan pendekatan sesuai dengan kesenangan generasi milenial.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, ada banyak organisasi masyarakat sipil yang melakukan kampanye nilai-nilai Pancasila dengan cara kreatif, menyenangkan dan lebih menyentuh generasi milenial.

Misalnya, komunitas wisata kebhinnekaan mengajak anak dan remaja lintas iman berwisata mengunjungi rumah-rumah ibadah.

Siapa yang tidak senang jalan-jalan?

Tentu saja anak dan remaja excited diajak berkeliling sambil mengenal rumah ibadah dan mendengarkan langsung penjelasan tentang agama-agama di setiap rumah ibadah yang dikunjungi.

Pendekatan traveling juga digunakan oleh komunitas Peace Train.

Hampir sama dengan komunitas Wisata Bhinneka, komunitas ini juga mengajak peserta lintas iman untuk mengunjungi rumah-rumah ibadah dan berdiskusi dengan pemuka agama.

Bedanya, sesuai dengan namanya, komunitas ini menggunakan kereta api untuk mengunjugi rumah ibadah di satu daerah tertentu.

Yang suka backpacker akan tertarik dengan kegiatan ini.

Sabang Merauke, mengedukasi toleransi dengan mengajak langsung pelajar lintas iman untuk hidup selama beberapa hari di rumah orangtua asuh (family) yang berbeda keyakinan.

Mereka meyakini toleransi tak cukup hanya diajarkan tapi harus dirasakan.

Karena itu, komunitas ini menggunakan sistem live in (hidup bersama) agar pelajar dan keluarga barunya dapat saling mengenal, memahami, dan merasakan indahnya menjadi keluarga tanpa melihat latar belakang yang berbeda.

Komunitas tempat saya bergabung, Generasi Literat, memilih menggunakan metode permainan, sebagai cara yang efektif dan menyenangkan dalam proses belajar.

Secara rutin, kami mengajak anak dan remaja lintas iman untuk bermain “Kartu Pancasila” dan “Ular Tangga Nusantara” untuk mengenalkan keberagaman dan kekayaan Indonesia, serta aplikasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan ini diadakan di taman, sekolah, atau rumah ibadah.

Di atas hanya beberapa contoh. Tentu masih banyak yang lain.

Dari testimoni peserta yang mengikuti kegiatan yang diadakan oleh komunitas-komunitas di atas, cara-cara itu lebih menyentuh dan lebih praktis untuk dipraktikkan.

Marketing Pancasila Untuk Zaman Old
Lalu bagaimana “menjual” Pancasila ke generasi zaman old-generasi baby boomers- yang merupakan orang tua kita?

Cara-cara kreatif semacam permainan yang dipakai untuk generasi milenial, mungkin akan kurang efektif.

Karena beberapa orang tua malu untuk kembali ke masa kecilnya.

Sebagian lagi merasa metode bermain berarti hanya main-main, bukan belajar.

Menurut saya, mengangkat kearifan lokal di setiap daerah di Indonesia akan lebih baik.
Sebab, para orang tua kita lebih dekat dan mungkin masih mengingat kebiasan-kebiasaan lokal yang sebenarnya sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Indonesia memiliki banyak sekali falsafah hidup yang menjadi kearifan lokal dari Aceh hingga Papua.

Di Aceh, misalnya, ada tradisi “Duekfakat” (duduk bermusyawarah untuk mencapai mufakat).
Di Lampung, ada falsafah “Piil Pesenggiri” yang mengajarkan nilai kasih sayang, kekeluargaan dan gotong-royong.

Di Sulawesi Selatan, suku Bugis memiliki falsafah “Siri na Pesse” yang mengajarkan tiga prinsip utama : “Sipakatau” (saling memanusiakan), “Sipakainge’” (saling mengingatkan), dan “Sipakalebbi” (saling menghargai).

Tradisi “Perang Topat” (ketupat) adalah cara umat Islam dan Hindu di Lombok menjaga kerukunan dan persatuan.

Sistem kekeluargaan melalui “Pela Gandong” mampu mengatasi konflik di Ambon.

Di Papua Barat, masih kental falsafah “Satu Tungku, 3 Batu” yang mengajarkan toleransi tiga agama yang banyak dianut masyarakat setempat.

Lagi-lagi, di atas hanya beberapa contoh kearifan lokal yang sudah menjadi tradisi turun-temurun di setiap daerah.

Nilai-nilai lokal inilah yang mestinya kembali digelorakan kepada generasi old, khususnya.

Bisa jadi sebagian dari orang tua kita masih menyaksikan atau bahkan mengalami langsung tradisi tersebut.

Hemat saya, BPIP bisa mengambil ranah ini.

Memperbanyak sosialisasi dan kampanye nilai-nilai kearifan lokal yang sejalan dengan Pancasila.

Segala cara harus ditempuh untuk memarketingkan Pancasila.

Namun, menggunakan cara dan pendekatan sesuai segmen, akan lebih memudahkan sampainya pesan kepada alamat yang dituju. Mari kita ambil peran masing-masing.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas