Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Simalakama 'Pahlawan' Rantau
Sejah jauh orang merantau akhirnya pulang ke kampung halaman juga untuk silaturahmi.
Editor: Hasanudin Aco
Bupati Bogor, Jawa Barat, Ade Yasin khawatir para pendatang baru usai arus mudik Lebaran akan menambah jumlah pengangguran di wilayahnya.
Ade meminta para pemudik sekembalinya ke Bogor tidak membawa pendatang baru. Nah, lho!
Terbatasnya kesempatan dan lapangan kerja serta maraknya alih fungsi lahan pertanian di desa membuat sebagian penduduk usia produktif memilih untuk mengadu nasib di kota.
Iming-iming upah yang tinggi dan fasilitas kehidupan yang memadai di kota semakin menambah jumlah kaum urban di Indonesia.
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), perkembangan jumlah penduduk perkotaan terus meningkat berdasarkan perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Urban Rural Growth Difference/URGD).
Dalam kurun waktu 5 tahun antara 2015-2020 diprediksi tingkat urbanisasi meningkat dari 53,3% menjadi 56,7% dan diproyeksikan menjadi 66,6% pada 2035. Laju urbanisasi ini merupakan yang tertinggi di Asia.
Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 jumlah penduduk DKI Jakarta akan mencapai puncak tertingginya pada 2040, yakni 11,28 juta jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas 5,44 juta jiwa laki-laki dan 5,84 juta jiwa perempuan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, pada tahun 2017 ada 248.368 pengangguran. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2015 sebanyak 231.854 pengangguran.
Sedangkan jumlah penduduk Kabupaten Bogor juga cenderung padat, tercatat pada tahun 2017 sebanyak 5.715.009 jiwa. Jumlah tersebut jauh meningkat dari tahun 2015 sebanyak 4.771.932 jiwa.
Maka, keberadaan para parantau pun menjadi dilema atau bak buah simalakama. Di satu sisi menjadi “pahlawan”, baik bagi kampung halaman maupun daerah perantauan, di sisi lain menjadi beban.
Menjadi “pahlawan” karena saat mereka mudik, ekonomi pedesaan bergerak cepat, dan di perantauan pun mereka bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tak biasa dikerjakan oleh penduduk setempat, misalnya menjadi tukang batu, asisten rumah tangga atau pedagang kaki lima.
Menjadi beban karena menambah jumlah penduduk di daerah perantauan. Pertambahan jumlah penduduk selalu menuntut penambahan fasilitas dan pelayanan, mulai dari tempat tinggal, pekerjaan, air bersih, hingga fasilitas kesehatan. Belum lagi potensi kriminalitas.
Mencari nafkah, mengadu nasib ke kota, adalah hak setiap orang yang tak seorang pun bisa melarang. Namun kebersihan, keamanan dan kenyamanan kota juga menjadi tanggung jawab bersama.
Bila sudah begini, siapa yang mau “makan” buah simalakama bernama perantau? Mau tak mau, pemerintah daerah asal perantau dan pemerintah daerah tujuan perantau harus mau.
* Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI / Mantan Ketua Umum Ikatan Paguyuban Keluarga Wonogiri Seluruh Indonesia (IPKWSI).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.