Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Simalakama 'Pahlawan' Rantau
Sejah jauh orang merantau akhirnya pulang ke kampung halaman juga untuk silaturahmi.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejauh-jauhnya burung terbang, niscaya akan kembali ke sarang. Sejauh-jauhnya manusia melanglang, niscaya akan pulang ke kampung halaman.
Maka, bagi orang Indonesia, terutama kaum muslim, mudik Lebaran, termasuk pada Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriyah ini, sudah menjadi tradisi turun-temurun dari generasi ke generasi; sebagaimana tradisi mudik Imlek kaum diaspora Tionghoa.
Kemacetan arus lalu-lintas yang terjadi di setiap “ritual” mudik dan balik seakan sudah menjadi “kenikmatan” tersendiri.
Bahkan serasa tidak mudik (dan balik) seandainya tidak terjadi kemacetan arus lalu-lintas, seperti tahun ini yang relatif lancar arus mudik dan baliknya setelah ada jalan tol Trans Jawa.
Kementerian Perhubungan mencatat 23 juta manusia melakukan perjalanan dari kota ke desa atau mudik pada masa liburan Idul Fitri 1440 H atau Lebaran 2019, naik sekitar 1,4 juta dibanding Lebaran 2018. Dari jumlah itu, 14.901.468 di antaranya berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Kemhub juga mencatat terjadi perputaran uang Rp 10,3 triliun selama musim mudik Lebaran 2019. Uang itu dihabiskan pemudik untuk biaya transportasi dan konsumsi.
Perputaran uang itu terbanyak mengalir di wilayah Jawa Tengah Rp 3,8 triliun, Jawa Barat Rp 2,05 triliun, dan Jawa Timur Rp 1,3 triliun, serta sisanya mengalir tersebar ke wilayah lain di Indonesia.
Sedangkan total biaya transportasi yang dibutuhkan pemudik dari Jabodetabek ke daerah tujuan Rp 6 triliun, terbanyak ke Jabar Rp 945 miliar dan ke Jatim Rp 791 miliar.
Ya, pergerakan manusia dalam jumlah sangat besar diikuti dengan pergerakan uang. Tingkat perputaran uang yang besar dan cepat atau dalam teori ekonomi disebut “velocity of money” telah mendorong produksi barang dan jasa, terutama sektor ekonomi riil.
Artinya, aliran uang yang dibawa pemudik ke daerah-daerah telah menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi regional. Maka, para perantau yang kembali ke kampung halaman pun patut disebut sebagai “pahlawan”.
Kini, para “pahlawan” itu sudah mulai kembali ke perantauan, ditandai dengan macetnya arus lalu-lintas di jalan tol Cikampek-Jakarta. Tak jarang mereka membawa serta sanak familinya ke rantau.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memprediksi 71 ribu pendatang baru akan masuk Jakarta.
Angka ini naik sekitar 2.000 orang dari jumlah pendatang baru tahun 2018 yang sebesar 69 ribu orang. Tahun 2018 sekitar 5.865.000 pemudik berangkat meninggalkan Jakarta, sedangkan pada arus balik ada 5.934.000 orang yang masuk ke Jakarta.
Bupati Bogor, Jawa Barat, Ade Yasin khawatir para pendatang baru usai arus mudik Lebaran akan menambah jumlah pengangguran di wilayahnya.
Ade meminta para pemudik sekembalinya ke Bogor tidak membawa pendatang baru. Nah, lho!
Terbatasnya kesempatan dan lapangan kerja serta maraknya alih fungsi lahan pertanian di desa membuat sebagian penduduk usia produktif memilih untuk mengadu nasib di kota.
Iming-iming upah yang tinggi dan fasilitas kehidupan yang memadai di kota semakin menambah jumlah kaum urban di Indonesia.
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), perkembangan jumlah penduduk perkotaan terus meningkat berdasarkan perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Urban Rural Growth Difference/URGD).
Dalam kurun waktu 5 tahun antara 2015-2020 diprediksi tingkat urbanisasi meningkat dari 53,3% menjadi 56,7% dan diproyeksikan menjadi 66,6% pada 2035. Laju urbanisasi ini merupakan yang tertinggi di Asia.
Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 jumlah penduduk DKI Jakarta akan mencapai puncak tertingginya pada 2040, yakni 11,28 juta jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas 5,44 juta jiwa laki-laki dan 5,84 juta jiwa perempuan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, pada tahun 2017 ada 248.368 pengangguran. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2015 sebanyak 231.854 pengangguran.
Sedangkan jumlah penduduk Kabupaten Bogor juga cenderung padat, tercatat pada tahun 2017 sebanyak 5.715.009 jiwa. Jumlah tersebut jauh meningkat dari tahun 2015 sebanyak 4.771.932 jiwa.
Maka, keberadaan para parantau pun menjadi dilema atau bak buah simalakama. Di satu sisi menjadi “pahlawan”, baik bagi kampung halaman maupun daerah perantauan, di sisi lain menjadi beban.
Menjadi “pahlawan” karena saat mereka mudik, ekonomi pedesaan bergerak cepat, dan di perantauan pun mereka bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tak biasa dikerjakan oleh penduduk setempat, misalnya menjadi tukang batu, asisten rumah tangga atau pedagang kaki lima.
Menjadi beban karena menambah jumlah penduduk di daerah perantauan. Pertambahan jumlah penduduk selalu menuntut penambahan fasilitas dan pelayanan, mulai dari tempat tinggal, pekerjaan, air bersih, hingga fasilitas kesehatan. Belum lagi potensi kriminalitas.
Mencari nafkah, mengadu nasib ke kota, adalah hak setiap orang yang tak seorang pun bisa melarang. Namun kebersihan, keamanan dan kenyamanan kota juga menjadi tanggung jawab bersama.
Bila sudah begini, siapa yang mau “makan” buah simalakama bernama perantau? Mau tak mau, pemerintah daerah asal perantau dan pemerintah daerah tujuan perantau harus mau.
* Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI / Mantan Ketua Umum Ikatan Paguyuban Keluarga Wonogiri Seluruh Indonesia (IPKWSI).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.