Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Rekayasa Sosial dalam Wacana Referendum Aceh
Menyeruaknya wacana referendum Aceh, belakangan, sesungguhnya menampilkan potret buram hegemoni politik yang berlangsung di tanah Rencong.
Editor: Malvyandie Haryadi
Di sisi lain, Mualem terlihat menggunakan ketokohannya demi kepentingan politik, di mana suara partainya dari pemilu 2009 sampai sekarang mengalami penyusutan suara. Boleh dibilang, ia menggunakan momen polemik pasca pemilu ini untuk meningkatkan kembali kredibilitasnya di mata masyarakat. Pernyataannya ihwal referendum juga memperlihatkan jelas kaitan antara koalisinya dengan Prabowo di Aceh, dengan kekalahan yang dialami Prabowo di Pemilihan Presiden 2019. Apalagi jika mengingat Prabowo memenangkan 85 % suara di Aceh.
Namun, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, wacana referendum kali ini tidak dimulai dari aspirasi etno-nasionalisme dari lapisan bawah masyarakat. Malahan, wacana referendum dimulai dari gagasan seorang elit politik yang memiliki motif politik nan kompleks serta tampak panik kehilangan nilainya di tengah masyarakat.
Maka, jelas sudah isu referendum dihembuskan bukan untuk kepentingan masyarakat, namun sebagai katalisator kekecewaan Mualem terhadap dinamika politik yang terus menggusurnya dari panggung politik.
Hegemoni dan Pengabaian Konsensus
Desentralisasi Indonesia pasca demokratisasi 1998 membuahkan berkah bagi banyak daerah. Aceh, walaupun harus mengalami konflik sosial, pada akhirnya ikut mendapatkan otonomi daerah beserta keistimewaannya sendiri.
Sampai sekarang pun Provinsi Aceh disebut dengan nama khusus, Nanggroe Aceh Darussalam. Tentunya, nama itu tidak lahir dari ruang hampa, segala keistimewaan Aceh didapat dari konsensus demokrasi beserta berkah desentralisasi.
Namun, desentralisasi memiliki efek negatif. Salah satu efek negatifnya, yaitu potensi penyalahgunaan kekuasaan elit politik lokal. Di sini, penyalahgunaan kekuasaan bisa berujung pada munculnya aspirasi-aspirasi parokial.
Aspirasi parokial merupakan aspirasi terbatas yang diwakili oleh elit politik lokal dan diupayakan masuk dalam agenda publik pemerintahan. Kekhawatiran yang muncul dari situ, dominasi aspirasi parokial akan menggerus nasionalisme, dan semakin melupakan konsensus demokrasi yang sudah disepakati.
Dalam kasus referendum terkini, aspirasi parokial bisa menjurus pada separatisme demokratis. Wacana referendum, padahal sudah dilarang dalam sistem hukum Indonesia. TAP MPR Nomor VII tahun 1998 telah mencabut TAP MPR Nomor IV tahun 1993 tentang referendum.
Dengan demikian,, pernyataan untuk melakukan referendum jelas bertolakbelakang dengan UU dan inkonstitusional. Bertolak dari situ, ajakan-ajakan mengenai referendum seharusnya bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Romo Mangun dalam bukunya yang berjudul Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan (1999) pernah mengatakan bahwa rakyat Indonesia kedepannya akan mengalami masa di mana retorika nasionalisme sempit marak digencarkan.
Maksud dari nasionalisme sempit ini adalah nasionalisme yang lebih mengedepankan negara daripada rakyat. Dengan kata lain, nasionalisme sempit bersandar pada semangat negara sebagai arus utama kebenaran.
Menyitir istilah Romo Mangun, dalam kasus referendum, Mualem dan elit politik Aceh tanpa disadari sedang menebarkan benih-benih etno-nasionalisme yang sempit. Etno-nasionalisme yang menjadi landasan referendum bukanlah upaya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, melainkan sekedar hasil egoisme politik akibat kekecewaan dalam kontestasi politik.
Maka, patut jika istilah etno-nasionalisme sempit ini disandangkan pada upaya referendum terkini.