Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kesenjangan Keterampilan, Iklim Usaha dan Perang Dagang AS-China
Indonesia telah berhasil membangun perekonomian digital terbesar di Asia Tenggara dan menikmati kesuksesan dari sejumlah perusahaan unicorn baru
Editor: Eko Sutriyanto
Meskipun adanya kekhawatiran bahwa Revolusi Industri Keempat dapat menyisihkan tenaga kerja yang kurang terampil karena tak mampu bersaing, rencana pemerintah tersebut diprediksi dapat menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan tambahan pada tahun 2030.
Namun, diragukan bahwa Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja terampil yang cukup untuk memenuhi permintaan industri teknologi tinggi karena hanya 22% yang lulusSMA.
Di sisi lain, Indonesia telah berhasil membangun perekonomian digital terbesar di Asia Tenggara dan menikmati kesuksesan dari sejumlah perusahaan unicorn baru.
Namun, Indonesia perlu lebih giat dalam menciptakan pemimpin usaha yang visioner dan memiliki keahlian wirausaha agar mampu merealisasikan ide inovatif menjadi sebuah kisah sukses yang realistis.
Hal ini juga memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan pasar dalam negerinya yang sangat dinamis dan menjaring berbagai peluang dari integrasi negara-negara Asia Tenggara.
Oleh karena itu, rencana ini tentunya sangatlah bergantung pada kesuksesan pemerintah dalam meningkatkan standar pendidikan selama masa jabatan Presiden Jokowi yang kedua, dan hal iniakan dibahas dalam the country report selanjutnya yang akan dirilis pada tahun 2020 mendatang.
Kecemasan terhadap dampak dari perang dagang
Para pemimpin usaha yang disurvei menyampaikan sejumlah kekhawatiran mereka terhadap ancaman eksternal yang dapat menghambat kemajuan perekonomian dalam negeri.
Para CEO di Indonesia, terutama yang berbasis di Jakarta, menyampaikan bahwa kebijakan proteksionisme (25%) merupakan ancaman terbesar bagi perekonomian dalam negeri, diikuti dengan jatuhnya permintaan dari Cina dan fluktuasi harga komoditas (23%).
Secara umum, para responden dari keempat negara menilai bahwa jatuhnya permintaan dari Cina (28%), kebijakan proteksionis (26%), dan merosotnya harga komoditas (20%) merupakan ancaman bagi perekonomian negara-negara yang disurvei.
Seiring dengan perekonomian di seluruh dunia yang terus merasakan dampak negatif dari perang dagang antara AS dan Cina, serta obsesi Presiden Donald Trump dalam membenahi defisit perdagangan AS, para CEO di Jakarta dan ibukota lainnya sangatlah khawatir terhadap permasalahanterkait dengan arus perdagangan antar negara.
Sama seperti di Filipina, Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak terlalu merasakan dampak negatif dari perang dagang karena memiliki pasar dalam negeri yang cukup dinamis.
Baca: Siswi Berseragam Putih Biru Kedapatan Sekamar Bersama Sejumlah Pria di Kos-kosan
Namun, perlu dicatat bahwa Cina merupakan mitra dagang bilateral yang besar bagi Indonesia dengan nilai impor dan ekspor yang cukup tinggi, sedangkan, AS merupakan mitra dagang kedua terbesar.
Seiring dengan Indonesia yang berupaya untuk meningkatkan rantai nilai industri dan mengatasi defisit perdagangan melalui peningkatan ekspor produk bernilai tinggi, para CEO sangat mencemaskan segala hal yang dapat mengganggu keseimbangan perdagangan internasional.